PBB: Muslim Rohingya Tak Bisa Akses Layanan Kesehatan di Rakhine

  • Lisa Schlein

Seorang anak Muslim Rohingya berdiri di kamp penampungan Thet Kel Pyin di Rakhine, Myanmar (foto: ilustrasi).

Pejabat-pejabat PBB melaporkan Muslim Rohingya hidup dalam ketakutan dan perasaan tidak percaya dan tidak bisa bebas bergerak di negara bagian Rakhine, Myanmar. Badan urusan pengungsi PBB dan program pembangunan PBB baru-baru ini melakukan penilaian pertama atas kondisi di bagian utara negara bagian Rakhine sejak eksodus massal pengungsi Rohingya ke Bangladesh lebih dari setahun lalu.

Tim dari dua badan PBB, UNHCR dan UNDP, mengunjungi lebih dari 26 desa di negara bagian Rakhine, Myanmar. Mereka mengatakan, tim bisa pergi ke mana saja dan bertemu siapa saja yang mereka inginkan.

Juru bicara UNHCR Andrej Mahecic mengatakan fokus pertemuan mereka adalah mengetahui kondisi tempat tinggal orang-orang Rohingya dan kesulitan yang mereka hadapi.

“Penilaian ini dilakukan terkait krisis yang terjadi tahun lalu. Jadi, jelas ada juga dampak pada bagaimana orang hidup dan semua orang yang ditemui tim menghadapi situasi yang sangat sulit, terutama dalam memenuhi kebutuhan hidup,” katanya.

BACA JUGA: Pejabat Kemanusiaan PBB: Myanmar Belum Sepenuhnya Tanggapi Isu Rohingya

Mahecic mengatakan orang-orang di Rakhine mengungkapkan ketidakmampuan mereka mencari nafkah dan mendapatkan layanan dasar karena ruang gerak mereka dibatasi secara ketat. Ia mengatakan, perasaan tidak percaya, perasaan takut terhadap komunitas tetangga dan perasaan tidak aman banyak dijumpai di banyak daerah.

“Perasaan takut dan perasaan tidak percaya berdampak pada akses ke pendidikan, kesehatan, dan layanan dasar lain. Perasaan-perasaan itu juga membatasi interaksi antar komunitas, menghambat prospek untuk membangun rasa percaya dan kohesi sosial. Komunitas-komunitas yang kami kunjungi sering mengungkapkan tentang kesulitan mendapat layanan kesehatan serta pembatasan populasi Muslim dalam mengakses pendidikan,” tambah Mahecic.

UNHCR dan UNDP menandatangani Memorandum of Understanding – MOU - atau Nota Kesepahaman, dengan Myanmar awal Juni lalu. MOU itu hendak menciptakan kondisi yang kondusif agar pengungsi Rohingya kembali dari Bangladesh secara sukarela, dengan aman, bermartabat dan berkelanjutan dan kembali berbaur dengan masyarakat di negara bagian Rakhine.

Atas dasar penilaian awal itu, Mahecic mengatakan, jelas bahwa tidak ada satu pun dari syarat-syarat itu yang dipenuhi. (ka)