Desainer grafis dan ilustrator Hana Nurul Aini punya segudang pengalaman pahit jadi pekerja kreatif. Paling sering, ujar dia, adalah honor yang tidak sesuai kesepakatan.
Hana menceritakan pengalamannya membuat desain baju untuk sebuah merek. "Begitu (desain) sudah diberikan, sudah deal, oke hasilnya, sudah diproduksi juga, dia itu bayarnya cuma setengahnya. Terus waktu aku tagih, jadi pas ditagih itu kayak yang ‘bentar yah soalnya kan ini juga belum tahu bakal laku apa enggak’,” kisahnya yang menekuni ilustrasi sejak 2015.
Lain waktu, ilustrator di Bandung ini pernah dibebani pekerjaan tambahan meski kontrak kerjanya sudah mau habis.
“Di akhir mau beres kontrak, tiba-tiba ngasih kerjaan banyak banget. Terus aku bilang sama temanku, nggak bisa semepet itu, karena pekerjaannya bukan cuma satu gambar doang kan. Ada beberapa lembar komik gitu, jadi kan mungkin juga,” terangnya.
Lebih parah lagi, ketika proyek itu selesai, pemberi kerjanya mengurangi honor dengan berbagai alasan.
“'Loh kok setengah?' kata saya teh. Ya nggak bisa gitu lah, mau sebanyak apapun pekerjaan tetap aja dibayarnya segitu (sesuai kesepakatan). Sudah kontrak dari awal,” kisahnya geram.
Belum lagi soal desain yang dicetak ulang tanpa sepengetahuan dirinya, ujar Hana.
Mayoritas Pekerja Kreatif Tidak Punya Kontrak
Situasi rentan seperti Hana umum dialami oleh pekerja industri kreatif di Indonesia.
Ketua Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif (Sindikasi), Ellena Ekarahendy, menyatakan, banyak pekerja kreatif yang tidak mengetahui hak-haknya. Hal itu sesuai temuannya di Jakarta, Bandung, dan Surabaya.
BACA JUGA: Cara Industri Buku Komik Bertahan di Tengah Pandemi"Banyak dari mereka upahnya dibayar telat atau bahkan pernah nggak dibayar juga. Hampir 70% tuh mereka nggak punya kontrak kerja, bahkan perjanjian kayak haknya apa sih, kewajibannya apa sih, jangan sampai akhirnya itu bisa diabuse sama si pemberi kerja,” jelasnya kepada VOA.
Ellena mengatakan, banyak pekerja yang hanya mengandalkan chatting atau email informal sebagai ganti kontrak. Ikatan kerja yang tidak tegas itu, ujar Ellena, membuat pekerja kreatif rentan dipaksa bekerja terus-menerus.
"Ada lubang di bagian satuan waktu, yang itu disalahgunakan sama pemberi kerja. Karena dianggapnya 'oh freelancer kan nggak ada ikatan kerja, dianggapnya bisa 24 jam stand by,” terangnya yang berprofesi sebagai ilustrator ini.
Karena itu, ujar Ellena, penting bagi pekerja kreatif lepas menyusun kontrak kerja untuk diajukan kepada pemberi kerja. Di dalamnya perlu diatur jelas hak dan kewajiban kedua belah pihak. Tak lupa, cantumkan tenggat pembayaran honor.
"Supaya bisa si pekerja ini menyampaikan apa saja yang layak jadi hak dan kewajiban dia. Kedua, bisa jadi salah satu instrumen supaya punya posisi tawar terhadap pemberi kerja,” tegasnya.
Di samping honor, pekerja lepas juga berhak atas perlindungan diri, seperti asuransi, terutama di saat wabah penyakit seperti sekarang.
"Ada nggak perlindungan K3-nya. Misalkan jurnalis lepas, ditugasi untuk menulis cerita tentang wabah penyakit. Dia berhak atas upah, itu satu. Tapi ada nggak sih antisipasi supaya dia tidak tertular penyakit tersebut?” kata dia lagi.
Pekerja Kreatif Butuh Perhatian Pemerintah
Serikat Sindikasi meluncurkan pedoman kontrak kerja bagi pekerja lepas, Jumat (1/5), tepat di Hari Buruh Internasional. Serikat ini mendorong kontrak kerja pekerja lepas bisa diformalkan oleh pemerintah.
Sayangnya, ujar Ellena, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) menganggap pekerja kreatif adalah tanggung jawab Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), begitu pun sebaliknya.
BACA JUGA: Matthew McCounaghey Optimis Industri Kreatif Akan Lebih Maju Pascapandemi Covid-19Padahal seharusnya kedua lembaga negara itu bekerjasama melihat sektor yang berkembang ini. "Dari industri kreatif ngomongin industrinya seperti apa, pasarnya seperti apa, dan gimana punya political will untuk kerjasama sama Kemenaker untuk mendorong perlindungan. Terus Kemenaker juga harus responsif untuk melihat ada industri baru yang namanya industri kreatif,” harapnya.
Ekonomi Kreatif Sumbang 7,38% pada Perekonomian
Survei Ekonomi Kreatif oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf, kini Kemenparekraf) dan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, sektor ini menciptakan PDB 852 triliun pada 2015. Sektor ini menyumbang 7,38 persen terhadap total perekonomian nasional.
Subsektor yang tumbuh pesat adalah desain komunikasi visual (10,28%), musik (7,26%), animasi video (6,68%, dan arsitektur (6,62%).
BACA JUGA: Pesan Persatuan dan Kerukunan Melalui Karya Seni Rupa Media Tas JinjingSementara itu, Sekjen Serikat Sindikasi, Ikhsan Rahardjo, menilai pemerintah masih fokus pada sisi pemilik modal.
“Jangan sekadar melihat industri kreatif sebagai angka-angka fantastis puluhan juta lapangan pekerjaan, kemudian triliunan pendapatan negara dari sektor ini. Yang diajak diskusi jangan hanya pebisnisnya aja, jangan hanya CEO-nya aja,” ujarnya yang bekerja di media.
Ikhsan menegaskan, jika ingin industri kreatif terus berkembang, pemerintah wajib melindungi hak-hak pekerjanya. “Kondisi ketenagakerjaan yang buruk akan berpengaruh kepada kualitas atau output yang dihasilkan para pekerjanya. Ketika upahnya rendah segala macem, dia nggak akan menghasilkan kerja yang baik,” pungasnya. [rt/em]
Your browser doesn’t support HTML5