Pekerja Migran: Dari Stigma, PHK, Hingga Tak Terdata Sebagai Penerima Bansos

  • Yudha Satriawan

Seorang petugas yang mengenakan alat pelindung memeriksa suhu pekerja migran Indonesia yang tiba dari Malaysia selama karantina untuk mencegah penyebaran COVID-19, sebelum berolahraga di pangkalan udara Soewondo di Medan, Provinsi Sumatra Utara, 11 April 2020.

Lebih dari 34 ribu pekerja migran dari berbagai negara diperkirakan akan pulang ke kampung halaman di Indonesia meski masih terjadi wabah Covid-19. Pahlawan devisa yang kembali saat ekonomi diguncang pandemi Covid-19 justru menghadapi stigma.

Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo, Selasa (12/5), mengatakan para pekerja migran Indonesia, yang kini berada di berbagai negara yang dilanda wabah corona, hanya punya dua pilihan. Pulang atau bertahan dengan kondisi logistik Dan ekonomi yang tidak jelas.

Ketika nanti kembali ke Tanah Air dan pulang ke daerah asalnya, imbuh Wahyu, para pekerja akan menghadapi masalah baru yakni stigma dan rentan kemiskinan.

Suasana diskusi daring membahas kepulangan pekerja migran di tengah pandemi, Selasa, 12 Mei 2020. (Screenshot : VOA/Yudha Satriawan)

"Pekerja migran punya kerentanan berlipat menghadapi Covid-19 ini : tertular virus, distigma sebagai carrier atau pembawa virus, beban kerja bertambah terutama sektor rumah tangga, kehilangan pekerjaan karena pandemi ini di sektor pariwisata antara lain kapal pesiar, perhotelan, spa, hospitality atau buruh lepas di perkebunan, konstruksi bangunan, maupun transportasi,” ujar Wahyu dalam diskusi daring, Selasa (12/5).

Diskusi daring itu membagi cerita para pekerja migran yang kembali dan desa dalam merespons Covid-19 di Kabupaten Jember. Pemeriksaan kesehatan berlapis yang harus dijalani pekerja migran saat kembali, ujar Wahyu, tidak membantu menghapus stigma sebagai pembawa virus. “Kehilangan pekerjaan juga membuat para pekerja migran ini layak mendapat bantuan sosial pemerintah,” ujarnya.

Direktur Migrant Care, Wahyu Susilo, saat menjadi narasumber diskusi daring tentang kepulangan pekerja migran, Selasa, 12 Mei 2020. (Screenshot: VOA/ Yudha Satriawan)

Lebih lanjut Wahyu mengapresiasi langkah pemerintah desa dalam merespons kedatangan para pekerja migran dengan menyediakan lokasi karantina sesuai protokol kesehatan sebagai bentuk respons melawan stigma masyarakat.

Hong Kong, Taiwan, Malaysia, Korea, Singapura, dan Timur Tengah masih menjadi negara tujuan utama para pekerja migran Indonesia. Migrant Care mencatat kepulangan pekerja migran beragam. Mulai dari cuti bekerja dua minggu menyambut Lebaran, kontrak kerja selesai, pemutusan hubungan kerja (PHK), hingga deportasi karena tak memiliki dokumen resmi.

Kepala Dinas Tenaga Kerja Pemkab Jember Jawa Timur, Bambang Edi Santoso, dalam kesempatan yang sama tersebut menyatakan kedatangan para pekerja migran di daerahnya mulai mengalir sejak awal tahun ini. Menurut Bambang, hampir 300 pekerja migran asal Jember pulang ke desa.

"Setiap pekerja migran yang pulang ke desa, entah itu satu atau dua orang pun, saya akan kontak pemerintah kecamatan, hingga kepala desa agar menjemput warganya tersebut untuk menjalani karantina sesuai protokol kesehatan," kata Bambang Edi Santoso.

Para pekerja migran Indonesia yang tiba dari Malaysia di pelabuhan Bandar Sri Junjungan di Dumai, Riau, 2 April 2020. (Foto: AFP)

Pemkab Jember sudah menyiagakan pos-pos satgas Covid-19 di perbatasan yang menjadi pintu masuk kedatangan pekerja migran. Bagi pekerja migran yang pulang karena di-PHK atau kontrak tak diperpanjang, pemkab melakukan pendampingan untuk akses program kartu Prakerja.

Sementara itu, Juru Bicara Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Pemkab Jember, Andri Purnomo, mengatakan desa merespons wabah Covid-19 dengan beragam cara. Antara lain melalui Desa Tanggap Covid-19 di 226 desa dan relawan desa lebih dari 10 ribu personel.

Menurut Andri, desa yang warganya menjadi pekerja migran dan pulang saat ini sudah disediakan 138 unit isolasi mandiri di desa."Kita juga ada Bantuan sosial. Ini bisa disinergikan dengan pekerja migran yang pulang ke Indonesia karena status kehilangan pekerjaan atau mata pencaharian, sesuai aturan salah satu klausul calon penerima bantuan sosial yaitu kehilangan mata pencaharian dan rawan kemiskinan," jelasnya.

Para petugas kesehatan melakukan pemeriksaan kesehatan 156 pekerja migran Indonesia yang tiba dari Malaysia di Bandara Juanda, Surabaya, 7 April 2020. (Foto: AFP)

Berbagai desa, tambah Andri, merealokasi Dana Desa Pelaksanaan Bantuan Langsung Tunai untuk tanggap Covid-19. Dari realokasi itu ada potensi Rp 101 miliar untuk 56.227 Kepala Keluarga.

Para pekerja migran juga banyak yang tidak masuk daftar penerima bantuan sosial. Pasalnya, banyak pekerja migran yang kembali ke desanya ketika pendataan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan program kartu Prakerja, sudah selesai.

Kades Dukuh Dempok Jember, Miftahul Munir menceritakan kisah salah satu warganya, Puji Astuti, yang menjadi pekerja migran di Taiwan. Puji dikembalikan oleh majikannya dalam kondisi sakit. Dia terpaksa pulang dengan biaya sendiri dan saat ini masih dirawat di rumah sakit karena stroke.

Your browser doesn’t support HTML5

Pekerja Migran: Dari Stigma, PHK, Hingga Tak Terdata Sebagai Penerima Bansos

"Terus terang kondisi keluarganya tidak mampu. Kami saat ini hanya bisa membantu dengan memberi bantuan sembako ke keluarga sedangkan biaya pengobatan masih mencari donatur. Datangnya Puji Astuti ini setelah pendataan bantuan sosial pemerintah dilakukan," jelasnya.

Miftahul juga menyayangkan agen penyalur tenaga kerja yang lepas tangan dengan kondisi warganya itu.

Anggota Badan Permusyawaratan Desa Ambulu Jember, Ririn Kusuma Ari menceritakan stigma membuat dua pekerja migran warga desanya yang pulang memilih mengungsi ke desa lain karena enggan menjalani karantina.

Pakar hukum dari kampus di Jember Jawa Timur, Musfianawati saat diskusi daring tentang pekerja migran, Selasa, 12 Mei 2020. (Screenshot : VOA/ Yudha Satriawan)

Pakar Hukum dari Universitas Islam Jember, Musfianawati, mengatakan kepala desa memiliki kewenangan untuk memberikan bantuan bagi warga, termasuk pekerja migran yang pulang karena kondisi ekonomi, terlewat dari daftar penerima program sosial pemerintah. Karena pemerintah sudah mengatur penanganan wabah Covid-19 dari desa hingga pusat.

"Kepala desa memiliki kewenangan untuk membuat SK (Surat Keputusan) pemerintah desa, jika ada warganya yang layak dapat bantuan sosial tetapi tidak masuk daftar penerima bantuan sosial pemerintah pusat, propinsi, maupun kabupaten/kota. Tentu saja dengan keterlibatan RT/RW," jelasnya. [ys/ft]