Seorang perempuan Bangladesh tertembak tewas pada Rabu (8/11) dalam aksi demonstrasi berujung kekerasan oleh para pekerja garmen setelah mereka menolak tawaran kenaikan upah yang ditetapkan pemerintah. Suami korban menyalahkan kepolisian atas peristiwa ini.
Sebanyak 3.500 pabrik garmen di negara di Asia Selatan itu menyumbang sekitar 85 persen dari ekspor tahunannya yang mencapai 55 miliar dolar AS. Pabrik-pabrik itu memasok banyak merek terkemuka di dunia mencakup Levi’s, Zara dan H&M.
Namun kondisi kerjanya mengerikan bagi mayoritas dari empat juta pekerja sektor ini. Mayoritas dari mereka adalah perempuan yang menerima upah bulanan mulai dari 8.300 taka atau $75 AS.
Panel yang dibentuk pemerintah telah menaikkan upah itu pada hari Selasa sampai 56,25 persen, tetapi para pekerja yang mogok menuntut upah yang hampir tiga kali lipat dari jumlah saat ini, yaitu 23 ribu taka.
“Polisi melakukan penembakan. Dia tertembak di kepala. Dia meninggal di mobil dalam perjalanan menuju rumah sakit,” kata Mohammad Jamal, suami dari operator mesin Anjuara Khatun, 23, ibu dari dua anak.
Jamal mengatakan kepada kantor berita AFP bahwa polisi telah menembaki sekitar 400 pekerja yang menuntut kenaikan upah di kota industri Gazipur, di luar ibukota Dhaka. “Enam atau tujuh orang tertembak dan terluka,” tambahnya.
BACA JUGA: Polisi, Pekerja Garmen Bangladesh Kembali Bentrok di Tengah Aksi Protes Upah RendahBacchu Mia, inspektur polisi yang bertugas di rumah sakit Dhaka Medical College, di mana jenazah korban dibawa mengonfirmasi kematian itu tetapi tidak memberikan detil lebih jauh.
Polisi mengatakan bahwa aksi kekerasan yang baru terjadi pada hari Rabu di Gazipur, yang menjadi lokasi ratusan pabrik, setelah 4 ribu orang menggelar protes, menolak kesepakatan terkait upah.
Ribuan orang memblokade jalan raya di mana setidaknya lima petugas terluka, dua di antaranya dalam kondisi kritis, kata seorang inspektur polisi yang tidak mau menyebutkan identitasnya kepada AFP.
Clean Clothes Campaign, organisasi hak-hak pekerja tekstil yang berbasis di Belanda, menolak jumlah upah yang baru, menilainya sebagai upah kemiskinan.
“Upah minimum yang baru mengorbankan para pekerja yang harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka dalam lima tahun ke depan,” papar organisasi itu dalam sebuah pernyataan.
Banyak merek yang memproduksi pakaian mereka di Bangladesh telah menjanjikan upah yang layak sejak lama, kata organisasi itu, namun mereka tidak bertindak, menunjukkan kosongnya komitmen-komitmen itu.” [ns/ka]