Dalam laporan yang keras ke Dewan HAM PBB, penyidik Yanghee Lee mencatat lebih dari 10 bulan telah lewat, sejak kekerasan oleh militer Myanmar terhadap minoritas Rohingya di negara bagian Rakhine, yang memaksa 700.000 orang melarikan diri ke Bangladesh. Katanya, belum ada upaya dilakukan. Meskipun bukti yang dapat dipercaya bahwa serangan yang meluas dan sistematis itu terus berlanjut terhadap warga Rohingya, yang kemungkinan besar merupakan kejahatan atas kemanusiaan.
"Terlalu banyak kejahatan telah didokumentasikan dan dilaporkan, tapi para pelakunya hanya mendapat sanksi kecil saja. Untuk memastikan akuntabilitas bagi pelanggaran berat HAM dan pelanggaran serius terhadap hukum kemanusiaan internasional di Myanmar, kita harus mengakui bahwa sejauh ini, PBB dan komunitas internasional telah gagal lagi," ujar Lee.
Peneliti PBB itu mengakui tanggung jawab utama untuk mencari dugaan pelanggaran berat terletak pada negara yang bersangkutan. Tetapi dia mencatat tidak ada penyelidikan yang dilakukan oleh pemerintah atau militer Myanmar yang memenuhi standar hukum internasional. Dia juga mempertanyakan kredibilitas penyelidikan yang diadakan belum lama ini oleh pemerintah untuk mengatasi situasi di Rakhine.
"Ini adalah penyelidikan domestik keenam yang akan dijalankan di bawah pemerintahan pimpinan Aung San Suu Kyi, dan sedemikian jauh tidak ada penyelidikan terhadap para pelakunya,” lanjut Lee.
Lee mengatakan, cara terbaik untuk mendapatkan temuan yang tidak memihak, bisa dipercaya dan bebas adalah, pemerintah membuka akses ke negara itu dan memungkinkan misi pencari fakta yang dibentuk oleh dewan untuk melakukan tugasnya.
Sekretaris tetap kementerian luar negeri Myanmar tidak terpengaruh oleh alasan-alasan itu. U Myint Thu menunjukkan kebencian terhadap Yanghee Lee dengan meminta Dewan HAM PBB itu untuk menggantinya dengan pelapor khusus lain. Dia mengatakan, pemerintahannya tidak akan bekerja sama dengan Lee karena dia tidak memiliki objektivitas, dan penilaiannya tentang situasi di negaranya tidak netral.
Warga Rohingya telah ditolak mendapat kewarganegaraan Myanmar, meskipun banyak dari keluarga mereka telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi. Myanmar membantah tuduhan adanya pembersihan etnis. [ps/ii]