Meski mencari kandidat yang bebas korupsi, survei menunjukkan bahwa jutaan orang Indonesia menganggap pembelian suara adalah sah.
Warga di Sumba dengan senang menerima daging ayam dan babi dari para calon anggota legislatif yang berburu suara. Namun, enam bulan lalu, tuduhan kecurangan telah memicu kerusuhan berdarah di pulau di Indonesia bagian timur itu.
Sebanyak 15 orang tewas, sebagian besar dibacok sampai mati, dan 75 rumah terbakar habis setelah tuduhan-tuduhan muncul bahwa pemenang pemilihan kepala daerah di Sumba Barat Daya telah menyuap Mahkamah Konstitusi untuk mendeklarasikannya sebagai bupati.
Sejumlah survei menjelang pemilihan anggota legislatif (pileg) nasional pada Rabu pekan lalu menunjukkan bahwa kejujuran dan bebas korupsi adalah kualitas-kualitas teratas yang dicari dalam kandidat politik oleh masyarakat Indonesia.
Namun, survei-survei tersebut juga menunjukkan bahwa jutaan orang Indonesia menganggap pembelian suara adalah sah.
"Ada ketidakterkaitan di sini. Orang-orang tidak melihat praktik ini sebagai korupsi. Mereka tidak melihat bahwa menerima uang sama dengan berkontribusi pada korupsi," ujar Sandra Hamid, direktur Asia Foundation untuk Indonesia.
Sebuah survei Asia Foundation baru-baru ini menunjukkan bahwa lebih dari 40 persen pemilih di Indonesia mau menerima uang atau hadiah dari calon legislatif, sementara survei-survei lain menemukan angka itu lebih dari 50 persen.
"Mereka melihat jumlah uang yang terlibat dalam kasus-kasus korupsi tingkat tinggi itu sangat besar, jadi saat mereka melihat Rp 50 ribu di depannya, mereka pikir 'Ok, saya ambil saja'," ujar Sandra.
Sebagian besar pendukung acara kampanye Partai Golkar di Jakarta baru-baru ini mengatakan mereka dijanjikan akan diberi Rp 50 ribu, selain transportasi dan konsumsi, namun merasa tidak ada yang salah dengan hal itu.
"Ini bukan pembelian suara. Ini hanya untuk uang bensin dan minum," ujar Djami'at Ibrahim, 56.
Namun pemberian uang itu tidak menjamin dukungan untuk kandidat pada pemilihan legislatif. Lebih dari 55 persen responden dalam survei oleh lembaga Indikator Desember lalu mengatakan mereka akan menerima uang dari kandidat, namun tidak berarti akan memilih mereka.
Banyak yang menerima uang dan tidak memberi suara sama sekali, karena kecewa dengan parlemen yang terus menjadi salah satu lembaga negara paling korup dalam survei.
Di Sumba, Pendeta Michael Keraf menjalankan kampanye untuk melawan apa yang ia sebut "tindakan jahat" pembelian suara di Sumba, daerah miskin dengan penduduk mayoritas beragama Kristen.
"Kami ingin mendidik warga, jangan hanya melihat uang. Untuk memberi gambaran sederhana, daging ayam di pasar itu harganya Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu sekarang ini. Jika menerima ayam dari caleg, maka artinya integritas kita tidak lebih dari seekor ayam," ujarnya.
"Penjelasan semacam ini akan membuat orang berpikir."
Akses Internet yang lebih besar memberikan sarana untuk pengawasan yang lebih baik. Sejumlah laman telah dibuat agar warga dapat melaporkan kandidat-kandidat yang berupaya membeli suara, sementara yang lainnya melakukan pemeriksaan latar belakang yang mendalam mengenai para kandidat dan mengekspos yang korup.
Di Sumba Barat Daya, komisi pemilihan umum akhirnya mengakui melakukan "kesalahan" dan bahwa pejabat petahana, Kornelius Kodi Mete, telah menang. Namun Mahkamah Konstitusi memenangkan lawannya, sehingga kabupaten itu masih belum memiliki bupati.
Kepala Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, ditahan tak lama setelah kerusuhan tersebut, dengan tuduhan menerima suap lebih dari US$5 juta untuk mengatur hasil 11 pilkada, meski ia belum didakwa atas kasus di Sumba Barat Daya.
Sementara itu, saat uang Rp 50 ribu dibagikan dengan mudah untuk warga, tokoh masyarakat mendapat hadiah yang lebih banyak.
Seorang istri tokoh masyarakat, yang menolak disebut namanya, mengaku mendapat pakaian dan seamplop uang tunai, dan kandidat berjanji akan mendorong undan-undang untuk membantu kelompok minoritas.
Ia sadar bahwa itu salah karena kandidat itu mencoba membeli suara dan pengaruh suaminya. Namun ia mengaku menerima uang tersebut dan akan memilih kandidat itu.
"Saya memang akan memilihnya, bukan karena uang itu," ujarnya. (AFP/Angela Dewan)
Sebanyak 15 orang tewas, sebagian besar dibacok sampai mati, dan 75 rumah terbakar habis setelah tuduhan-tuduhan muncul bahwa pemenang pemilihan kepala daerah di Sumba Barat Daya telah menyuap Mahkamah Konstitusi untuk mendeklarasikannya sebagai bupati.
Sejumlah survei menjelang pemilihan anggota legislatif (pileg) nasional pada Rabu pekan lalu menunjukkan bahwa kejujuran dan bebas korupsi adalah kualitas-kualitas teratas yang dicari dalam kandidat politik oleh masyarakat Indonesia.
Namun, survei-survei tersebut juga menunjukkan bahwa jutaan orang Indonesia menganggap pembelian suara adalah sah.
"Ada ketidakterkaitan di sini. Orang-orang tidak melihat praktik ini sebagai korupsi. Mereka tidak melihat bahwa menerima uang sama dengan berkontribusi pada korupsi," ujar Sandra Hamid, direktur Asia Foundation untuk Indonesia.
Sebuah survei Asia Foundation baru-baru ini menunjukkan bahwa lebih dari 40 persen pemilih di Indonesia mau menerima uang atau hadiah dari calon legislatif, sementara survei-survei lain menemukan angka itu lebih dari 50 persen.
"Mereka melihat jumlah uang yang terlibat dalam kasus-kasus korupsi tingkat tinggi itu sangat besar, jadi saat mereka melihat Rp 50 ribu di depannya, mereka pikir 'Ok, saya ambil saja'," ujar Sandra.
Sebagian besar pendukung acara kampanye Partai Golkar di Jakarta baru-baru ini mengatakan mereka dijanjikan akan diberi Rp 50 ribu, selain transportasi dan konsumsi, namun merasa tidak ada yang salah dengan hal itu.
"Ini bukan pembelian suara. Ini hanya untuk uang bensin dan minum," ujar Djami'at Ibrahim, 56.
Namun pemberian uang itu tidak menjamin dukungan untuk kandidat pada pemilihan legislatif. Lebih dari 55 persen responden dalam survei oleh lembaga Indikator Desember lalu mengatakan mereka akan menerima uang dari kandidat, namun tidak berarti akan memilih mereka.
Banyak yang menerima uang dan tidak memberi suara sama sekali, karena kecewa dengan parlemen yang terus menjadi salah satu lembaga negara paling korup dalam survei.
Di Sumba, Pendeta Michael Keraf menjalankan kampanye untuk melawan apa yang ia sebut "tindakan jahat" pembelian suara di Sumba, daerah miskin dengan penduduk mayoritas beragama Kristen.
"Kami ingin mendidik warga, jangan hanya melihat uang. Untuk memberi gambaran sederhana, daging ayam di pasar itu harganya Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu sekarang ini. Jika menerima ayam dari caleg, maka artinya integritas kita tidak lebih dari seekor ayam," ujarnya.
"Penjelasan semacam ini akan membuat orang berpikir."
Akses Internet yang lebih besar memberikan sarana untuk pengawasan yang lebih baik. Sejumlah laman telah dibuat agar warga dapat melaporkan kandidat-kandidat yang berupaya membeli suara, sementara yang lainnya melakukan pemeriksaan latar belakang yang mendalam mengenai para kandidat dan mengekspos yang korup.
Di Sumba Barat Daya, komisi pemilihan umum akhirnya mengakui melakukan "kesalahan" dan bahwa pejabat petahana, Kornelius Kodi Mete, telah menang. Namun Mahkamah Konstitusi memenangkan lawannya, sehingga kabupaten itu masih belum memiliki bupati.
Kepala Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, ditahan tak lama setelah kerusuhan tersebut, dengan tuduhan menerima suap lebih dari US$5 juta untuk mengatur hasil 11 pilkada, meski ia belum didakwa atas kasus di Sumba Barat Daya.
Sementara itu, saat uang Rp 50 ribu dibagikan dengan mudah untuk warga, tokoh masyarakat mendapat hadiah yang lebih banyak.
Seorang istri tokoh masyarakat, yang menolak disebut namanya, mengaku mendapat pakaian dan seamplop uang tunai, dan kandidat berjanji akan mendorong undan-undang untuk membantu kelompok minoritas.
Ia sadar bahwa itu salah karena kandidat itu mencoba membeli suara dan pengaruh suaminya. Namun ia mengaku menerima uang tersebut dan akan memilih kandidat itu.
"Saya memang akan memilihnya, bukan karena uang itu," ujarnya. (AFP/Angela Dewan)