Juru Bicara Kementerian Kesehatan dr Syahril Mansyur mengatakan, alasan pemerintah untuk tidak memberlakukan kebijakan itu adalah karena berbagai sub varian omicron yang menyebabkan ledakan kasus di China sudah terdeteksi di Tanah Air. Dan sampai saat ini hal tersebut belum menyebabkan peningkatan kasus COVID-19 di Indonesia.
Syahril menduga kondisi ini tercipta karena masyarakat Indonesia sudah memiliki tingkat imunitas yang cukup tinggi, baik karena vaksinasi maupun infeksi alamiah.
“Jadi sampai saat ini dengan alasan-alasan bahwa sub varian baru yang saat ini sedang terjadi lonjakan di negara China, Prancis dan sebagainya memang sudah ada di Indonesia sejak Oktober lalu, dan sampai saat ini hanya 15 kasus. Dan itu tidak menyebabkan terjadinya lonjakan kasus di Indonesia dan alhamdulillah terkendali,” ungkapnya kepada VOA.
Meski begitu, pihaknya akan tetap meningkatkan kewaspadaan di berbagai pintu masuk, seperti melakukan tes PCR terhadap pelancong dari China yang memiliki gejala COVID-19 ketika mendarat.
“Tapi kan tadi yang ditanyakan PPLN yang harus punya bukti tes PCR negatif, dan kita tidak memberlakukan itu. Tapi kalau kewaspadaan tadi ya harus, kalau orang-orang dia bergejala, baik itu pelancong Indonesia yang sedang bepergian ke China terus pulangnya ada gejala harus melakukan itu,” jelasnya.
Lebih jauh Syahril menuturkan pihaknya terus mengejar cakupan vaksinasi penguat atau booster yang saat ini baru mencapai 29 persen. Ia mengatakan, pada tahun 2023, Kementerian Kesehatan akan meningkatan jumlah pusat vaksinasi dan menggelar program jemput bola untuk meningkat akses ke booster.
Menurut Syahril, Kemenkes belum akan memberikan booster COVID-19 kedua atau dosis keempat pada masyarakat umum. Pasalnya, selain fokus untuk meningkatkan cakupan booster pertama, pihaknya juga hanya akan memberikan booster COVID-19 kedua pada kalangan rentan, seperti lansia, yang sampai saat ini baru mencapai enam persen.
Pengetatan Turis dari China Tidak Perlu Dilakukan
Ahli Epidemiologi dari Universitas Airlangga Windhu Purnomo mengatakan pemerintah Indonesia tidak perlu mengikuti langkah negara-negara lain dalam memberlakukan tes COVID kepada para pelancong yang datang dari China.
Windhu menjelaskan sesuai dengan hasil Whole Genome Sequencing (WGS) yang dilaporkan oleh pemerintah China kepada GISAID, berbagai sub varian omicron yang menyebabkan terjadinya lonjakan kasus di China sudah terlebih dahulu terdeteksi di Indonesia. Beberapa sub varian tersebut tidak menyebabkan lonjakan kasus di Tanah Air sampai detik ini.
“Jadi artinya, apa yang terjadi di China sebetulnya sudah terjadi kita, dan di kita tidak meningkatkan kasus. Kita tahu bahwa sejak April kita sudah nggak pernah ada lagi puncak yang tinggi (kasus COVID-19 -red). Puncak tinggi kita adalah pada 20 Februari 2022, setelah itu tidak ada lagi. Yang ada cuma polisi tidur saja, yang BA.5, dan XBB yang akhir November itu,” ungkap Windhu kepada VOA.
BACA JUGA: Sejumlah Negara Wajibkan Hasil Negatif Tes COVID-19 Kepada Penumpang Asal ChinaMeskipun banyak pihak menyangsikan jumlah kasus COVID-19 di Indonesia yang saat ini relatif rendah karena turunnya jumlah testing, Windhu mengatakan data yang tidak bisa ditutup-tutupi adalah data pasien COVID-19 yang yang masuk rumah sakit dan data kematian. Menurutnya, setelah puncak varian delta terlewati, jumlah rawat inap pasien COVID-19 dan tingkat kematian tetap rendah sampai detik ini.
“Jadi kenapa Indonesia bisa begitu? Karena Indonesia itu tingkat imunitasnya tinggi banget, hampir 100 persen dan itu gabungan dari vaksinasi dan infeksi alamiah. Jadi apakah kita harus seketat itu menghadapi PPLN dari China, nggak harus seketat itu bahwa setiap orang memperlihatkan tes,” jelasnya.
BACA JUGA: Pasien COVID Meningkat, Rumah Sakit Beijing Kehabisan Tempat Tidur“Tetapi surveillance kita harus tetap sesuai dengan apa yang sudah menjadi prosedur dan itu sejak awal dari WHO juga sama, yaitu surveillance, termasuk screening di pintu masuk. Tetapi harus berbasis pada symptom. Jadi berbasis sympton itu artinya ada suspek. Pertama, mereka yang mempunyai gejala mirip influenza, langsung dites, harus, mutlak, tapi yang di luar itu nggak perlu. Suspek kedua adalah gejala adanya sesak seperti pneumonia. Jadi semua yang mirip pneumonia harus dites,” pungkasnya.
Ia pun berharap, pemerintah kembali memberlakukan syarat booster pertama bagi para penumpang pesawat, baik dalam maupun luar negeri, seperti yang diwajibkan pada penumpang kereta api. [gi/ab]
Your browser doesn’t support HTML5