Para analis mengatakan program deradikalisasi oleh pemerintah harus dijalankan lebih intensif serta melibatkan seluruh lapisan masyarakat.
JAKARTA —
Ketua lembaga Moderate Muslim Society Zuhairi Misrawi mengatakan pelibatan seluruh lapisan masyarakat dalam program deradikalisasi sangat penting untuk mementahkan proses regenerasi kelompok-kelompok radikal dan sel-sel baru jaringan teroris di sejumlah daerah di Indonesia.
Komentarnya itu menyusul sejumlah aksi kekerasan oleh jaringan teroris yang masih saja meletup di sejumlah daerah belakangan ini, seperti bom bunuh diri di halaman Markas Kepolisian Resort Poso, Sulawesi Tengah.
Hal ini, ujarnya, memperlihatkan regenerasi jaringan terorisme masih tumbuh meski program deradikalisasi dan pemberantasan terorisme digiatkan.
Zuhairi menilai proses deradikalisasi yang dilakukan pemerintah selama ini tidak efektif karena tidak intensif, tidak tepat sasaran serta tidak melibatkan masyarakat maupun organisasi masyarakat Islam yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Faktanya saat ini, menurut Zuhairi, banyak kelompok yang mulai bertransformasi menjadi kelompok teroris, khususnya dari kalangan muda. Untuk itu kesatuan anti-teroris dari kepolisian Densus 88 maupun Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) harus meningkatkan kerja sama dengan sebanyak mungkin kelompok masyarakat karena terorisme adalah masalah bersama.
“Kalau kita lihat di jawa Tengah dan Jawa Barat menjadi sarang kelompok teroris. Jelas organisasinya Jamaah Ansharut Tauhid dan beberapa kelompok yang menjadi bagian dari kelompok radikal. Jadi kelompok-kelompok itu diharapkan memang diajak dialog kemudian diinjeksi dengan empat pilar, Pancasila, UUD 45, Negara Kesatuan dan Bhineka Tunggal Ika. Melibatkan pesantren misalnya dan juga melibatkan NU dan Muhammadiyah,” ujar Zuhairi pada VOA pada akhir pekan.
Hal yang sama juga diungkapkan peneliti dari International Crisis Group, Sidney Jones, yang menilai proses deradikalisasi tidak bisa diserahkan kepada pemerintah dan aparat saja.
Menurutnya, harus ada strategi yang baik dalam menanggulangi pemikiran-pemikiran radikal.
“Yang dikeluhkan di Indonesia adalah untuk melibatkan banyak sektor masyarakat dalam masalah ini. Tidak hanya dikasih beban hanya kepada polisi atau intel atau aparat penegak hukum saja,” ujarnya.
Kepala Badan Penanggulangan Terorisme Ansyaad Mbai membantah jika dikatakan deradikalisasi yang dilakukan pemerintah gagal. Pihaknya lanjut Ansyaad memang akan terus bekerja sama dengan kelompok masyarakat terkait deradikalisasi ini.
Ansyaad mengakui radikalisme juga telah masuk di lingkungan perguruan tinggi, menyusup ke lingkungan kampus dengan memanfaatkan ketidakpuasan mahasiswa terhadap kinerja pemerintah. Ansyaad mengklaim ideologi radikalisme berkembang akibat minimnya kegiatan organisasi kemahasiswaan
“Kalau dulu kegiatan ekstrakurikuler itu kan terstruktur, mahasiswa banyak sekali disibukan dengan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang dikontrol oleh perguruan tinggi. Dulu ada pendidikan tentang kewiraan, pancasila dan sebagainya dan setelah reformasi semua itu hilang tidak ada dan kemudian masuk agenda-agenda baru dari kelompok radikal,” ujarnya.
Komentarnya itu menyusul sejumlah aksi kekerasan oleh jaringan teroris yang masih saja meletup di sejumlah daerah belakangan ini, seperti bom bunuh diri di halaman Markas Kepolisian Resort Poso, Sulawesi Tengah.
Hal ini, ujarnya, memperlihatkan regenerasi jaringan terorisme masih tumbuh meski program deradikalisasi dan pemberantasan terorisme digiatkan.
Zuhairi menilai proses deradikalisasi yang dilakukan pemerintah selama ini tidak efektif karena tidak intensif, tidak tepat sasaran serta tidak melibatkan masyarakat maupun organisasi masyarakat Islam yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Faktanya saat ini, menurut Zuhairi, banyak kelompok yang mulai bertransformasi menjadi kelompok teroris, khususnya dari kalangan muda. Untuk itu kesatuan anti-teroris dari kepolisian Densus 88 maupun Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) harus meningkatkan kerja sama dengan sebanyak mungkin kelompok masyarakat karena terorisme adalah masalah bersama.
“Kalau kita lihat di jawa Tengah dan Jawa Barat menjadi sarang kelompok teroris. Jelas organisasinya Jamaah Ansharut Tauhid dan beberapa kelompok yang menjadi bagian dari kelompok radikal. Jadi kelompok-kelompok itu diharapkan memang diajak dialog kemudian diinjeksi dengan empat pilar, Pancasila, UUD 45, Negara Kesatuan dan Bhineka Tunggal Ika. Melibatkan pesantren misalnya dan juga melibatkan NU dan Muhammadiyah,” ujar Zuhairi pada VOA pada akhir pekan.
Hal yang sama juga diungkapkan peneliti dari International Crisis Group, Sidney Jones, yang menilai proses deradikalisasi tidak bisa diserahkan kepada pemerintah dan aparat saja.
Menurutnya, harus ada strategi yang baik dalam menanggulangi pemikiran-pemikiran radikal.
“Yang dikeluhkan di Indonesia adalah untuk melibatkan banyak sektor masyarakat dalam masalah ini. Tidak hanya dikasih beban hanya kepada polisi atau intel atau aparat penegak hukum saja,” ujarnya.
Kepala Badan Penanggulangan Terorisme Ansyaad Mbai membantah jika dikatakan deradikalisasi yang dilakukan pemerintah gagal. Pihaknya lanjut Ansyaad memang akan terus bekerja sama dengan kelompok masyarakat terkait deradikalisasi ini.
Ansyaad mengakui radikalisme juga telah masuk di lingkungan perguruan tinggi, menyusup ke lingkungan kampus dengan memanfaatkan ketidakpuasan mahasiswa terhadap kinerja pemerintah. Ansyaad mengklaim ideologi radikalisme berkembang akibat minimnya kegiatan organisasi kemahasiswaan
“Kalau dulu kegiatan ekstrakurikuler itu kan terstruktur, mahasiswa banyak sekali disibukan dengan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang dikontrol oleh perguruan tinggi. Dulu ada pendidikan tentang kewiraan, pancasila dan sebagainya dan setelah reformasi semua itu hilang tidak ada dan kemudian masuk agenda-agenda baru dari kelompok radikal,” ujarnya.