WASHINGTON, DC —
Demikian salah satu poin yang diangkat dalam sebuah diskusi antar-agama pekan ini di Washington DC.
Ketika Emira Soleha Ramli tiba di Amerika untuk menuntut ilmu beberapa tahun lalu, ia sempat khawatir. Mahasiswi asal Malaysia itu khawatir warga Amerika akan melihat dirinya sebagai perempuan yang tertindas, hanya karena ia Muslim dan mengenakan jilbab. Stereotipe semacam itu muncul terkait maraknya pemberitaan kekerasan terhadap perempuan di negara-negara Arab di mana dominasi laki-laki masih sangat kuat.
Namun ia justru semakin terpicu untuk meluruskan stereotipe itu.
“Karena kalau bukan kita sendiri, perempuan Muslim, yang menyuarakan sikap kita, siapa lagi?” ujar Emira dalam diskusi bertajuk ‘Engaging Diverse Voices of Faith for the Common Good’ di Gedung Capitol, Washington DC hari Rabu (03/20) yang di antaranya dihadiri oleh beberapa organisasi agama yang moderat.
Salah satu organisasi yang ikut ambil bagian dalam dialog antar-agama itu adalah Nahdlatul Ulama USA-Canada. Organisasi yang baru terbentuk awal tahun ini tersebut mengatakan stereotipe negatif tentang Muslim dan Islamofobia atau ketakutan terhadap Islam muncul karena banyaknya sorotan terhadap ekstrimisme.
Ketuanya, Dr. Shalahudin Kafrawi mengatakan kepada VOA arus ekstrimisme yang kuat itu harus diredam dengan menunjukkan wajah Islam yang lebih moderat, dan inilah modal yang dimiliki Indonesia.
“Mengedepankan diskursus Islam Indonesia yang moderat, toleran, tersenyum, yang memahami nuansa keberagamaan, nuansa pemikiran keislaman, yang terefleksikan dalam prinsip-prinsip dasar Nahdlatul Ulama,” ujar Dr. Shalahudin.
Global Peace Foundation, kelompok yang mengupayakan keharmonisan beragama di dunia, memiliki pendapat yang sama. Presiden GPF, James P. Flynn, memberitahu VOA bahwa Indonesia dan Amerika sama-sama memainkan peranan penting dalam hal ini.
“Amerika sebagai negara yang pernah menjadi mayoritas Kristen memiliki prinsip-prinsip dan nilai-nilai berdasarkan “self-evident truth*” atau kebenaran yang mutlak yang membentuk kita sebagai bangsa. Indonesia sebagai negara mayoritas Muslim juga menganut prinsip-prinsip dan nilai-nilai Pancasila sebagai cara dimana Indonesia sebagai negara plural bisa bersatu. Jadi keterkaitan antara Amerika dan Indonesia dan pelajaran yang telah dipetik oleh kedua negara itu bisa bermanfaat bagi dunia,” papar Flynn.
Sementara itu, Asosiasi Perempuan Muslim di Amerika mengatakan ekstrimisme seyogyanya bisa diredam dari keluarga. Karena itu sangat penting untuk memberdayakan perempuan yang berperan besar dalam keluarga, demikian menurut Presiden organisasi non-profit dan non-politik tersebut, Rosa Rai Djalal.
“Bila ibu berpendidikan, mengajarkan kasih sayang, bukan kebencian atau kekerasan, anak-anaknya akan tumbuh menjadi orang yang penuh kasih, baik, penolong dan tidak mau terlibat dalam konflik, apalagi masuk ke dalam (kelompok) ekstrimisme atau terorisme,” kata Rosa Djalal.
Isteri Duta Besar Indonesia untuk Amerika itu menganjurkan kepada para perempuan, terlepas dari keyakinan mereka, untuk lebih memanfaatkan media sosial sebagai alat untuk menyuarakan sikap dan menekan pemerintah agar lebih memberdayakan perempuan.
Ketika Emira Soleha Ramli tiba di Amerika untuk menuntut ilmu beberapa tahun lalu, ia sempat khawatir. Mahasiswi asal Malaysia itu khawatir warga Amerika akan melihat dirinya sebagai perempuan yang tertindas, hanya karena ia Muslim dan mengenakan jilbab. Stereotipe semacam itu muncul terkait maraknya pemberitaan kekerasan terhadap perempuan di negara-negara Arab di mana dominasi laki-laki masih sangat kuat.
Namun ia justru semakin terpicu untuk meluruskan stereotipe itu.
“Karena kalau bukan kita sendiri, perempuan Muslim, yang menyuarakan sikap kita, siapa lagi?” ujar Emira dalam diskusi bertajuk ‘Engaging Diverse Voices of Faith for the Common Good’ di Gedung Capitol, Washington DC hari Rabu (03/20) yang di antaranya dihadiri oleh beberapa organisasi agama yang moderat.
Salah satu organisasi yang ikut ambil bagian dalam dialog antar-agama itu adalah Nahdlatul Ulama USA-Canada. Organisasi yang baru terbentuk awal tahun ini tersebut mengatakan stereotipe negatif tentang Muslim dan Islamofobia atau ketakutan terhadap Islam muncul karena banyaknya sorotan terhadap ekstrimisme.
Ketuanya, Dr. Shalahudin Kafrawi mengatakan kepada VOA arus ekstrimisme yang kuat itu harus diredam dengan menunjukkan wajah Islam yang lebih moderat, dan inilah modal yang dimiliki Indonesia.
“Mengedepankan diskursus Islam Indonesia yang moderat, toleran, tersenyum, yang memahami nuansa keberagamaan, nuansa pemikiran keislaman, yang terefleksikan dalam prinsip-prinsip dasar Nahdlatul Ulama,” ujar Dr. Shalahudin.
Global Peace Foundation, kelompok yang mengupayakan keharmonisan beragama di dunia, memiliki pendapat yang sama. Presiden GPF, James P. Flynn, memberitahu VOA bahwa Indonesia dan Amerika sama-sama memainkan peranan penting dalam hal ini.
“Amerika sebagai negara yang pernah menjadi mayoritas Kristen memiliki prinsip-prinsip dan nilai-nilai berdasarkan “self-evident truth*” atau kebenaran yang mutlak yang membentuk kita sebagai bangsa. Indonesia sebagai negara mayoritas Muslim juga menganut prinsip-prinsip dan nilai-nilai Pancasila sebagai cara dimana Indonesia sebagai negara plural bisa bersatu. Jadi keterkaitan antara Amerika dan Indonesia dan pelajaran yang telah dipetik oleh kedua negara itu bisa bermanfaat bagi dunia,” papar Flynn.
Sementara itu, Asosiasi Perempuan Muslim di Amerika mengatakan ekstrimisme seyogyanya bisa diredam dari keluarga. Karena itu sangat penting untuk memberdayakan perempuan yang berperan besar dalam keluarga, demikian menurut Presiden organisasi non-profit dan non-politik tersebut, Rosa Rai Djalal.
“Bila ibu berpendidikan, mengajarkan kasih sayang, bukan kebencian atau kekerasan, anak-anaknya akan tumbuh menjadi orang yang penuh kasih, baik, penolong dan tidak mau terlibat dalam konflik, apalagi masuk ke dalam (kelompok) ekstrimisme atau terorisme,” kata Rosa Djalal.
Isteri Duta Besar Indonesia untuk Amerika itu menganjurkan kepada para perempuan, terlepas dari keyakinan mereka, untuk lebih memanfaatkan media sosial sebagai alat untuk menyuarakan sikap dan menekan pemerintah agar lebih memberdayakan perempuan.