Pengamat dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia berpendapat sampai saat ini pemerintah tidak berdaya mengatasi kebutuhan pangan, baik terkait stok maupun pengendalian harga.
JAKARTA —
Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, Achmad Suryana, Senin (28/1) menjelaskan pasokan komoditas pangan di dalam negeri akan terus ditingkatkan dan tetap mengutamakan produksi dalam negeri. Selain itu, kekhawatiran pedagang tentang maraknya kartel ditambahkannya tidak perlu berlebihan karena keberadaan kartel masih dapat ditekan pemerintah sehingga tidak menganggu para pedagang.
Kelangkaan komoditas pangan menurutnya biasanya terjadi karena tersendatnya proses distribusi serta minimnya hasil produksi dan bukan semata-mata karena adanya kartel. “Kita akan mengimpor pangan apabila produksi di dalam negeri tidak mencukupi, jadi seperti beras kalau belum mencukupi, impor, kalau mencukupi, tidak, yang lainnya juga demikian, kedelai kalau belum cukup ya impor, kalau sudah cukup ya tidak, kalau kartel itu yang dimaksud itu hanya beberapa orang,” kata Achmad Suryana.
Di sisi lain, menurut Wakil Menteri Perdagangan, Bayu Krisnamurthi, minimnya ketersediaan berbagai kebutuhan pangan di tengah cuaca buruk akhir-akhir ini sehingga membuat harga naik, bukan karena pemerintah tidak mampu membendung kenaikan tersebut.
Ditambahkan Wakil Menteri Bayu Krisnamurthi tidak benar penilaian masyarakat yang mengatakan di lokasi terjadinya bencana banjir dan longsor misalnya, pemerintah terkesan membiarkan harga berbagai kebutuhan pangan naik sehingga menambah beban para korban bencana.
“Karena ada gangguan, ada longsor, terputus dan lain-lain, barang yang didistribusikan kurang, baru kita coba tambah pakai distribusi. Kalau distribusi orangnya sudah bisnis walaupun tentu kita akan minta supaya harganya tidak dinaikkan. Harganya tetap normal seperti biasa, tapi bisnis harus beli karena itu memang distribusi. Kalau itu statusnya masih emergency ya bantuan sosial, dikasih gratis,” kata Wamendag Bayu Krisnamurthi.
Menanggapi penegasan kedua pejabat negara tersebut, pengamat dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia atau AEPI, Khudori berpendapat apapun penjelasan pemerintah mengenai upaya mengamankan stok dan menurunkan harga kebutuhan pangan, kenyataannya masyarakat dan pedagang masih merasa sulit.
“Problem kenaikan harga yang dikeluhkan oleh pedagang maupun konsumen nahwa pasokan itu tidak memadai sampai sekarang kan belum terjawab, mestinya kita punya instrumen yang memang di desain untuk menjawab berbagai persoalan yang setiap saat muncul, instrumen yang mestinya dipunyai pemerintah," kata Khudori.
Menurut Khudori, dalam soal harga, hal terpenting adalah perlindungan terhadap petani, terhadap produsen. "Harus ada harga yang memungkinkan kalau harga minimal itu tercapai dia tetap untung. Yang kedua, pemerintah harus punya cadangan stok yang dikelola entah oleh lembaga swasta, atau kalau kita percaya kepada Bulog (badan urusan Logistik) diserahkan kepada Bulog, cadangan ini setiap saat bisa digerakkan ketika dibutuhkan. Yang berikutnya impor harus diperketat bahkan harus ditutup supaya tidak menganggu instrumen harga,” tambahnya.
Khudori menambahkan buruknya infrastruktur dan mata rantai dalam proses distribusi membuat harga berbagai kebutuhan pangan naik signifikan ketika sampai kemasyarakat. “Hampir semua komoditas-komoditas penting itu antara lain tata niaganya selain tidak sehat itu panjang mulai dari produsen sampai ke konsumen itu melalui tangan-tangan yang sangat banyak. Tangan-tangan ini semua mengutip keuntungan, yang terjadi meskipun harga ditingkat produsen sangat rendah, ditingkat konsumen jadi sangat mahal, ini juga diperparah oleh sistem distribusi kita yang buruk," lanjut Khudori.
Ditambahkan Khudori, sampai sekarang Indonesia tidak memiliki transportasi khusus untuk mengangkut sapi hidup dari daerah-daerah sentra produsen ke sentra-sentra konsumen. Misalnya bagaimana jeruk Pontianak ditingkat produsen sana itu sangat murah tapi sampai Jakarta kalah bersaing dari jeruk Tiongkok. Hal tersebut disebabkan karena kendala transportasi dari Pontianak ke Jakarta dua hingga tiga kali lebih mahal dibandingkan dari Tiongkok ke Jakarta.
Sejak awal Januari lalu, terjadi kenaikan harga berbagai kebutuhan pangan hingga sekitar 50 persen dari harga semula. Bahkan beberapa komoditas seperti cabai dan bawang merah mengalami kenaikan sebesar 100 persen. Komoditas yang mampu dikendalikan harganya oleh pemerintah adalah beras, karena harga beras masih stabil.
Kelangkaan komoditas pangan menurutnya biasanya terjadi karena tersendatnya proses distribusi serta minimnya hasil produksi dan bukan semata-mata karena adanya kartel. “Kita akan mengimpor pangan apabila produksi di dalam negeri tidak mencukupi, jadi seperti beras kalau belum mencukupi, impor, kalau mencukupi, tidak, yang lainnya juga demikian, kedelai kalau belum cukup ya impor, kalau sudah cukup ya tidak, kalau kartel itu yang dimaksud itu hanya beberapa orang,” kata Achmad Suryana.
Di sisi lain, menurut Wakil Menteri Perdagangan, Bayu Krisnamurthi, minimnya ketersediaan berbagai kebutuhan pangan di tengah cuaca buruk akhir-akhir ini sehingga membuat harga naik, bukan karena pemerintah tidak mampu membendung kenaikan tersebut.
Ditambahkan Wakil Menteri Bayu Krisnamurthi tidak benar penilaian masyarakat yang mengatakan di lokasi terjadinya bencana banjir dan longsor misalnya, pemerintah terkesan membiarkan harga berbagai kebutuhan pangan naik sehingga menambah beban para korban bencana.
“Karena ada gangguan, ada longsor, terputus dan lain-lain, barang yang didistribusikan kurang, baru kita coba tambah pakai distribusi. Kalau distribusi orangnya sudah bisnis walaupun tentu kita akan minta supaya harganya tidak dinaikkan. Harganya tetap normal seperti biasa, tapi bisnis harus beli karena itu memang distribusi. Kalau itu statusnya masih emergency ya bantuan sosial, dikasih gratis,” kata Wamendag Bayu Krisnamurthi.
Menanggapi penegasan kedua pejabat negara tersebut, pengamat dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia atau AEPI, Khudori berpendapat apapun penjelasan pemerintah mengenai upaya mengamankan stok dan menurunkan harga kebutuhan pangan, kenyataannya masyarakat dan pedagang masih merasa sulit.
“Problem kenaikan harga yang dikeluhkan oleh pedagang maupun konsumen nahwa pasokan itu tidak memadai sampai sekarang kan belum terjawab, mestinya kita punya instrumen yang memang di desain untuk menjawab berbagai persoalan yang setiap saat muncul, instrumen yang mestinya dipunyai pemerintah," kata Khudori.
Menurut Khudori, dalam soal harga, hal terpenting adalah perlindungan terhadap petani, terhadap produsen. "Harus ada harga yang memungkinkan kalau harga minimal itu tercapai dia tetap untung. Yang kedua, pemerintah harus punya cadangan stok yang dikelola entah oleh lembaga swasta, atau kalau kita percaya kepada Bulog (badan urusan Logistik) diserahkan kepada Bulog, cadangan ini setiap saat bisa digerakkan ketika dibutuhkan. Yang berikutnya impor harus diperketat bahkan harus ditutup supaya tidak menganggu instrumen harga,” tambahnya.
Khudori menambahkan buruknya infrastruktur dan mata rantai dalam proses distribusi membuat harga berbagai kebutuhan pangan naik signifikan ketika sampai kemasyarakat. “Hampir semua komoditas-komoditas penting itu antara lain tata niaganya selain tidak sehat itu panjang mulai dari produsen sampai ke konsumen itu melalui tangan-tangan yang sangat banyak. Tangan-tangan ini semua mengutip keuntungan, yang terjadi meskipun harga ditingkat produsen sangat rendah, ditingkat konsumen jadi sangat mahal, ini juga diperparah oleh sistem distribusi kita yang buruk," lanjut Khudori.
Ditambahkan Khudori, sampai sekarang Indonesia tidak memiliki transportasi khusus untuk mengangkut sapi hidup dari daerah-daerah sentra produsen ke sentra-sentra konsumen. Misalnya bagaimana jeruk Pontianak ditingkat produsen sana itu sangat murah tapi sampai Jakarta kalah bersaing dari jeruk Tiongkok. Hal tersebut disebabkan karena kendala transportasi dari Pontianak ke Jakarta dua hingga tiga kali lebih mahal dibandingkan dari Tiongkok ke Jakarta.
Sejak awal Januari lalu, terjadi kenaikan harga berbagai kebutuhan pangan hingga sekitar 50 persen dari harga semula. Bahkan beberapa komoditas seperti cabai dan bawang merah mengalami kenaikan sebesar 100 persen. Komoditas yang mampu dikendalikan harganya oleh pemerintah adalah beras, karena harga beras masih stabil.