Lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi tempat yang aman kini telah berubah. Di sebagian tempat ini justru terjadi kekerasan seksual. Guru atau pengajar yang semestinya menjadi contoh teladan bagi muridnya malah tak jarang menjadi pelaku kekerasan seksual.
Salah satu hal penting yang harus dilakukan adalah berani mengungkap kasus kekerasan seksual yang terjadi, baik oleh korbannya sendiri maupun pihak yang mengetahui.
Bayu Suwardi dari Inspektorat Jenderal di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, memastikan pihaknya menjamin keamanan pelapor kekerasan seksual di institusi pendidikan, baik lembaga pendidikan umum atau keagamaan. Dia menegaskan jika mengetahui ada indikasi terjadinya kekerasan seksual di lembaga pendidikannya, guru harus berani melapor kepada orang tua siswa atau kepala sekolah.
Jika saluran pelaporan lewat sekolah macet, dia mengatakan Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan siap menerima pengaduan dugaan kekerasan seksual dan menindaklanjuti laporan-laporan tersebut. Jika terindikasi ada cacat fisik, maka guru harus berani melapor ke Dinas Pendidikan dan penegak hukum.
"Kami jamin seratus persen bahwa guru maupun siswa yang ingin melapor kepada kami (tentang kekerasan seksual di seklahnya), itu akan kami lindungi. Bahkan kami sudah kerjasama dengan LPSK (Lembaga Perlidungan Saksi dan Korban). Tidak hanya terlindungi dari aspek psikis tapi kita juga ingin melindungi dari aspek fisik. Mungkin juga ada gangguan-gangguan fisik (terhadap pelapor)," kata Bayu.
Di samping itu, lanjut Bayu, Kementerian Pendidikan juga sudah membuat kerja sama dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Dia menjamin identitas pelapor tidak akan diketahui orang lain.
Menurutnya jika dari aspek hukum kekerasan seksual yang terjadi sulit dibutikan, tetapi ada aspek etika sehingga pelakunya bisa kena sanksi etika.
Menurut Bayu, pihaknya juga sudah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan serta Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Bayu menjelaskan kedua peraturan menteri pendidikan tersebut mengatur semua sekolah dan perguruan tinggi harus menyajikan informasi mengenai cara untuk melapor jika terjadi kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Namun, hal ini belum banyak dilakukan oleh sekolah. Selain itu, sekolah juga harus membentuk satuan tugas untuk mencegah atau menangani kekerasan, termasuk kekerasan seksual.
Kekerasan Seksual Juga Terjadi di Institusi Pendidikan Agama
Komisioner Komnas Perempuan sekaligus pengajar di Institut Agama Islam Ibrahimi (IAII) Situbondo, Imam Nahei, menjelaskan tidak semua sekolah agama atau pesantren diam ketika terjadi kekerasan seksual di lingkungan institusi mereka. Dia menambahkan kurangnya iman bukan sebagai penyebab terjadinya kekerasan seksual.
BACA JUGA: Penghapusan Kekerasan Seksual: Kampus Serius, Peradilan Butuh Pembenahan"Bahkan keimanan atau "tafsir agama" itu justru digunakan untuk mengabsahkan atau pewajaran melakukan kekerasan seksual. Kadang-kadang doktrin-doktrin agama juga digunakan untuk membenarkan perilaku seseorang," ujar Imam.
Menurut Imam, ada banyak faktor ketika pesantren dan institusi pendidikan keagamaan diam terhadap kekerasan seksual. Ada ketidakpahaman mengenai jenis-jenis kekerasan seksual. Di pesantren atau lembaga-lembaga agama itu, mencolek, memegang tubuh bersiul, dan lain-lain bukan bagian dari kekerasan seksual.
Sebelum pemberlakuan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, lanjut Imam, banyak tokoh-tokoh agama menjadi pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Mereka menganggap memukul, mencubit, atau memarahi istri bukan kekerasan, tetapi tugas seorang lelaki untuk mendidik istrinya.
Dia menegaskan semua bentuk kekerasan seksual, mulai dari yang paling kecil hingga yang paling besar, perlu disosialisasikan ke lembaga-lembaga agama dan pesantren. Hal ini sangat minim dilakukan. Imam mengatakan guru-guru harus dilatih untuk berani bersuara dan mengedukasi peserta didik mengenai kekerasan seksual.
Pendeta Ira Imelda mengakui kekerasan seksual juga terjadi di institusi pendidikan Nasrani. Dia menambahkan karena kekerasan seksual dianggap sesuatu yang tidak mungkin terjadi di lembaga pendidikan, termasuk institusi keagamaan, maka banyak yang tidak menyadari hal tersebut.
"Apalagi kalau misalnya dikedepankan bahwa kita menganut nilai-nilai kekristenan. Jadi itu yang membuat semakin kadang-kadang kekerasan seksual yang terjadi di institusi pendidikan itu seringkali ditutup-tutupi, karena nanti dianggap tidak mencerminkan nilai-nilai kecemerlangan dari kampus atau nilai-nilai kekristenan," kata Ira.
Ira menjelaskan pihak gereja tempat dia melayani umat memandang ajaran agama tidak lepas dari konstruksi budaya. Sehingga diakui atau tidak, masih menempatkan perempuan sebagai objek seksual. Akibatnya muncul padangan yang menganggap normal terhadap kekerasan seksual.
Menurut Ira, sering ada pendidik atau pendeta yang menganggap korban kekerasan seksual terlalu berlebihan. Bahkan tidak jarang ada yang menyalahkan korban kekerasan seksual. Dia menyebutkan kadang menerima aduan dari korban yang menyatakan pendeta kadang merangkul atau memeluk.
Ketika dilaporkan ke orang tuanya, lanjutnya, malah muncul pernyataan korban dianggap besar kepala atau menegaskan pendeta itu berarti sayang kepada jemaat yang bersangkutan. Kesulitan lainnya adalah harus diakui tokoh gereja atau tenaga pendidik memiliki relasi kuasa yang timpang.
Sebab pendeta, aktivis gereja, atau pendidik dianggap memiliki tingkat keimanan yang mantap. Sehingga ketika ada aduan mereka melakukan kekerasan seksual, kerap suara korban tidak dipercaya.
BACA JUGA: Pemerkosa 13 Santri Herry Wirawan Ajukan Kasasi, Korban Harapkan KeadilanKasus Herry Wirawan dan Mas Bechi Tampar Dunia Pesantren
Kasus kekerasan seksual tidak hanya terjadi di institusi pendidikan umum tetapi juga berlangsung di lembaga pendidikan keagamaan. Tahun ini saja, terdapat beberapa kasus kekerasan seksual di pesantren yang menggegerkan dilakukan petinggi pesantren tersebut.
Herry Wirawan (37 tahun) pengurus sekaligus pemilik Pondok Tahfiz Al-Ikhlas, Yayasan Manarul Huda Antapani dan Madani Boarding School Cibiru, Kota Bandung, Jawa Barat, memperkosa belasan santriwatinya di berbagai tempat, salah satunya Pesantren Tahfidz Madani, rumah tempat korban belajar dan menghapal Al-Qur'an.
Mochamad Subchi Azal Tsani (42) atau disapa Mas Bechi, anak seorang kiai ternama di Jombang ditangkap atas kasus pencabulan dan pemerkosaan terhadap santriwati di Pesantren Majma´al Bahrain Shiddiqiyah. [fw/em]