Papua menjadi salah satu dari dua provinsi di Indonesia yang menerima otonomi khusus. Pemberian otonomi khusus ini bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli Papua, mewujudkan keadilan dalam hal pemerataan dan percepatan pembangunan, menghormati hak-hak dasar orang asli Papua, serta mendorong tata kelola pemerintahan yang baik.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengingatkan kembali hal itu dalam rapat dengar pendapat dengan Panitia Khusus Otonomi Khusus Papua Dewan Perwakilan rakyat di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis (8/4).
Ditambahkannya, meski ada kekhususan bagi dua provinsi di Papua, yakni Papua dan Papua Barat, tetapi harus tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Selama dua dasawarsa pelaksanaan otonomi khusus di Papua, lanjutnya, taraf hidup masyarakat Papua makin membaik, meski belum optimal.
Tito menambahkan UU No.21/Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua baru mengatur ketentuan dana bagi hasil minyak bumi dan gas alam secara spesifik untuk Provinsi Papua Barat saja, belum untuk Provinsi Papua.
"Kondisi geografis yang berat dan luas masih menjadi kendala utama percepatan dan pemerataan pembangunan di wilayah Papua. (Sehingga) berdampak terjadi ekonomi tinggi serta rentan kendali pembangunan yang sulit di luar jangkauan pemerintah," kata Tito.
Kekurangan lainnya, kata Tito, adalah masih belum terbentuknya Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi (KKR) seperti diamanatkan oleh UU No.21/Tahun 2001 itu. Dia juga menyoroti masih perlunya peningkatan kualitas sumber daya manusia di Papua, terutama mereka yang bekerja di sektor pemerintahan.
Dengan berbagai kekurangan yang masih ada selama 20 tahun pelaksanaan otonomi khusus, Tito menyimpulkan otonomi khusus masih perlu diperpanjang, termasuk dana otonomi khusus yang menjadi sumber APBD.
"Untuk Provinsi Papua itu 63,79 persen APBDnya dari dana otsus (otonomi khusus), Rp14 triliun lebih untuk provinsi. Total untuk provinsi dan kabupaten hampir Rp54 triliun. Untuk Provinsi Papua Barat 52,68 persen dari dari dana otsus. Jadi kalau dana otsus ini tidak dilanjutkan, maka APBDnya akan langsung drop," ujar Tito
BACA JUGA: Pemerintah akan Perketat Pengawasan Dana Otsus PapuaDitambahkannya, pemerintah menilai besaran dana otonomi khusus bagi Papua perlu ditambah dari dua persen menjadi 2,25 persen untuk mempercepat pembangunan dan kesejahteraan. Hanya saja skemanya perlu diubah dari 100% hibah, menjadi 1% hibah dan sisanya berdasarkan kinerja.
Dengan luas 3,5 kali pulau Jawa dan penduduk sekitar lima juta orang, pemerintah mengusulkan pemekaran kembali provinsi di Papua untuk percepatan pembangunan dan pemerataan. Sejauh ini ada aspirasi untuk membentuk provinsi Papua Selatan, Papua Utara, dan Papua Tengah.
Setujui Perpanjangan Otonomi Khusus di Papua
Dalam pandangan fraksinya, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Eti Wijayati mengatakan pemerintah perlu mewujudkan kesejahteraan, keadilan, dan perdamaian di Papua. Karena itu Fraksi PDIP menyetujui usulan pemerintah untuk memperpanjang pelaksanaan otonomi khusus di Papua dengan merevisi UU No.21/Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.
"Fraksi PDIP menyayangkan perubahan hanya sebatas afirmasi numerik, dana otonomi khusus, dan afirmasi administrasi kewilayahan, pemekaran provinsi. Bukannya perubahan dilakukan menyeluruh sekaligus menjawab persoalan sepanjang 20 tahun pemberlakuan otonomi khusus,” ujar Eti.
Trifena M. Tinal dari Fraksi Partai Golongan Karya menjelaskan meski sudah 20 tahun otonomi khusus dilaksanakan, sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur di Papua masih lebih buruk dibandingkan rata-rata kabupaten/kota di Indonesia. Selain itu, hal yang sangat memprihatinkan adalah menurut laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terdapat penyalahgunaan dana otonomi khusus oleh pemerintah daerah.
Your browser doesn’t support HTML5
Trifena merujuk data Badan Pusat Statistik pada 2018 yang menyebutkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua sebesar 60,84 atau meningkat 0,78 poin dibanding pada 2018. Dia menganggap masih ada harapan untuk peningkatan IPM Papua meski tidak signifikan.
"Oleh karena itu, mekanisme penyaluran serta pengawasan dana otonomi khusus harus diperbaiki agar lebih tepat sasaran serta memenuhi prinsip transparansi, dan akuntabilitas,” ujar Trifena.
Di akhir rapat, Panitia Khusus Revisi Undang-undang Otonomi Khusus Papua sepakat dengan pemerintah untuk melanjutkan proses pembahasan legislasi tersebut hingga rencana pengambilan keputusan mengenai draf RUU di rapat paripurna pada 15 Juli 2021. [fw/em]