Pemerintah Optimis, Pilkada Tak Munculkan Klaster Besar Covid-19

  • Nurhadi Sucahyo

Seorang perempuan mengenakan masker saat memberikan suara di sebuah TPS di Badung, Provinsi Bali, 9 Desember 2020 di tengah pandemi Covid-19. (Foto: Antara/Fikri Yusuf via REUTERS)

Hingga hampir satu pekan setelah pelaksanaan pilkada serentak 9 Desember 2020, pemerintah menilai belum ada tanda munculnya klaster besar Covid-19. Karena itulah, diyakini pelaksanaan pilkada tidak akan memunculkan dampak seperti dikhawatirkan banyak orang, terutama para pakar wabah.

Pernyataan itu disampaikan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Moh Mahfud MD di Yogyakarta, Senin (14/12).

“Alhamdulillah belum ada kasus, bahwa kerumunan pilkada itu menjadi klaster baru. Apakah Covid masih ada? Masih. Tetapi itu sama saja, malah yang lebih banyak yang tidak ada Pilkada, yang penduduknya lebih banyak, ya lebih banyak kasus. Yang lalu lintas orangnya lebih banyak, ya lebih banyak angka terinfeksinya meskipun tidak ada Pilkada,” kata Mahfud.

Evaluasi dan Proyeksi Pilkada 2020, Senin 14 Desember 2020 di Yogyakarta. (Foto: Humas Pemda DIY)

Mahfud hadir di Yogyakarta bersama Menteri Dalam Negeri, Mohammad Tito Karnavian, ketua KPU Arief Budiman dan Ketua Bawaslu Abhan. Mereka menggelar pertemuan daring bersama pemerintah provinsi, kabupaten dan kota, yang menyelenggarakan pilkada 9 Desember 2020. Hadir pula penyelenggara pilkada di setiap daerah.

Mahfud menegaskan, kondisi terakhir ini patut disyukuri karena berhasil mengatasi kekhawatiran dan kecemasan yang dulu muncul. Seperti diketahui, sejumlah pihak meminta pemerintah menunda pelaksanaan pilkada di tengah pandemi. Mereka beralasan pilkada berpotensi menghadirkan lonjakan kasus.

Namun, karena ketidakpastian kapan pandemi berakhir, pemerintah, DPR dan KPU sepakat Pilkada diselenggarakan akhir tahun ini. Tekad itu, kata Mahfud, disertai dengan penetapan protokol kesehatan yang ketat.

Menkopolhukam Mahfud MD. (Foto: Humas Pemda DIY)

“Kalau diproyeksikan ke Januari, misalnya 15 hari lagi, kalau rata-rata sehari 7.000 kasus, sekarang ini kira-kira 5.000 kasus per hari. Maka akan ada sekitar 800 ribu kasus di Januari. Jauh di bawah angka yang mengerikan itu,” tambah Mahfud.

Tingkat Partisipasi Naik

Pemerintah juga mencatat, tingkat partisipasi pilkada tahun ini 75,83 persen, naik dari tahun 2015 yang hanya 69 persen. Pertemuan di Yogyakarta, Senin siang (14/12) juga menyepakati, seluruh pihak mulai pemerintah, KPU dan Bawaslu akan tetap bekerja dengan baik hingga seluruh tahapan selesai. Pemerintah juga berterimakasih kepada organisasi masyarakat, mulai NU, Muhammadiyah hingga PGI yang secara obyektif menilai pelaksanaan Pilkada berjalan baik.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebut, ada sekitar 90 negara di dunia yang menyelenggarakan pemilihan, baik lokal maupun nasional. Namun, Indonesia menorehkan prestasi tersendiri, karena menjadi salah satu pemilihan dengan jumlah pemilih paling besar, yaitu sekitar 76 juta pada pilkada 2020.

Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian. (Foto: Humas Kemendagri)

“Ketegasan rekan-rekan pengamanan, Polri, YNI, Satpol PP yang mengatur yang sudah mencoblos langsung meninggalkan tepat, selain mencegah kerumunan juga mempermudah rekan-rekan petugas di TPS,” kata Tito.

Selain koordinasi yang baik di pusat dan daerah serta dukungan Presiden Jokowi, Tito juga menyebut peran partai politik cukup signifikan.

Ketua KPU Arief Budiman juga menilai, kekhawatiran yang muncul sejak bulan Maret lalu telah mampu diatasi. Meski, di sisi lain dia juga mengakui tetap ada kasus muncul terkait penyelenggaraan Pilkada 2020.

Ketua KPU, Arief Budiman.(Foto: Humas Pemda DIY)

“Kita tidak bisa menghindari, ada penyelenggara yang terkena juga. Tetapi kita juga tidak bisa pastikan, apakah yang bersangkutan terkena Covid itu karena tahapan pilkada. Jangan-jangan karena aktivitas di luar Pilkada,” kata Arief.

Namun meski ada kasus, lanjutnya, angkanya tidak terlalu signifikan. Karena itulah, KPU berkesimpulan secara umum semua telah berjalan dengan baik.

Dampak Pilkada Sulit Diukur

Epidemiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Dr Riris Andono Ahmad menilai, saat ini sulit menentukan bagaimana dampak pilkada terhadap peningkatan kasus positif Covid-19. Salah satu faktornya adalah karena pilkada ada proses panjang, bukan hanya saat pencoblosan tanggal 9 Desember. Artinya, jika menambah kasus, maka penambahannya terjadi sepanjang proses berbulan-bulan itu.

Refleksi dan Proyeksi Pelaksanaan Pilkada Serentak 2020. (Foto: Humas Kemendagri)

Faktor kedua adalah karena saat ini, Indonesia sudah berada dalam peningkatan eksponensial yang cepat dan menunjukkan bahwa penularan di populasi itu sudah meluas.

“Artinya dengan atau tanpa pilkada, ya peningkatannya akan terus terjadi. Dan peningkatan karena Pilkada bisa jadi tidak cukup signifikan terlihat, karena kita sedang dalam situasi peningkatan yang eksponensial itu,” tutur Riris.

Riris mengingatkan, dampak pilkada terhadap peningkatan kasus tidak dapat dibandingkan dengan peristiwa lain. Dalam kasus kerumunan Rizieq Shihab misalnya, peristiwanya terjadi di satu lokasi dalam skala besar. Begitu juga dengan peningkatan kasus akibat libur panjang yang beberapa kali terjadi, karena peristiwa itu masif dan dilakukan bersamaan di seluruh Indonesia.

Riris Andono Ahmad, peneliti Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM. (Foto: Pool Media)

“Kita juga melihat pemerintah melakukan tindakan mitigasi, tetapi isunya seberapa efektif mitigasi itu berhasil diterapkan, kita perlu evaluasi. Secara epidemiologis, seharusnya ada peningkatan. Isunya adalah, seberapa besar peningkatannya. Itu yang tidak kita tahu,” tambahnya.

Riris juga menegaskan, klaim bahwa tidak ada lonjakan adalah sesuatu yang keliru. Sekilas saja sudah bisa dilihat, ada petugas pemilihan yang dikabarkan positif selama proses pilkada. Jika disimpulkan, lanjutnya, kemungkinan Pilkada sebagai penyebab kenaikan kasus diyakini cukup besar. Masalahnya adalah, bisa jadi para petugas, tim sukses atau calon yang berlaga tertular dalam kegiatan di luar proses pilkada itu sendiri. Faktor-faktor semacam itu yang menyulitkan untuk mengukur dampak Pilkada, bagi jumlah kasus di Indonesia, apalagi di tengah penularan masif di masyarakat.

BACA JUGA: Pilkada 2020: Pandemi, Golput, dan Munculnya Dinasti Politik Baru

Sejumlah kandidat dalam pilkada dinyatakan meninggal karena terinfeksi Covid-19. Mereka antara lain Calon Bupati Kabupaten Berau, Muharram yang meninggal 22 September. Calon Wali Kota Bontang, Adi Darma meninggal pada 1 Oktober. Petahana Bupati Bangka Tengah, Ibnu Soleh meninggal pada 4 Oktober. Calon Wali Kota Dumai, Eko Suharjo, meninggal 25 November. Sedangkan calon Bupati Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, Andi Malkan Amin dinyatakan meninggal dunia pada 7 Desember.

Your browser doesn’t support HTML5

Pemerintah Optimis, Pilkada Tak Munculkan Klaster Besar Covid 19

Selain itu Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Tangerang Selatan, Bambang Dwitoro meninggal dunia pada Sabtu 12 Desember setelah dinyatakan positif Covid-19. Sementara. Miratul Mukminin, Ketua Tim Pemenangan Paslon Wali Kota-Wakil Wali Kota Surabaya, Machfud Arifin-Mujiaman Sukirno ini, meninggal dunia 13 Desember juga karena Covid-19. Di luar itu, ada sejumlah Panitia Pemungutan Suara (PPS) yang dinyatakan positif sepanjang proses Pilkada. [ns/ab]