Pemerintah Bangladesh telah mencabut kredensial pers puluhan wartawan dalam sebuah tindakan yang oleh para kritikus disebut sebagai bentuk sensor yang “mengkhawatirkan”.
Kementerian Penerangan sementara dalam seminggu terakhir telah membatalkan akreditasi lebih dari 50 wartawan.
Beberapa media lokal melaporkan lebih dari 20 wartawan senior telah dicabut kredensialnya pada tanggal 30 Oktober, dan 30 lainnya mengalami nasib yang sama pada hari Minggu lalu (3/11).
Dhaka Tribune melaporkan sebagian dari mereka yang terkena dampak adalah Zafar Wazed, mantan direktur jenderal Institut Pers Bangladesh; mantan menteri pers Shaban Mahmud; dan wartawan di berbagai outlet termasuk ATN News, Ekattor TV, dan The Dhaka Times, menurut Dhaka Tribune.
BACA JUGA: Pascaprotes terhadap Pemerintah, Mahasiswa Bangladesh Kembali BerkuliahBeberapa pengawas media mengatakan wartawan yang mendukung partai politik Liga Awami yang digulingkan tampaknya paling terkena dampaknya.
Pemerintahan Liga Awami jatuh pada bulan Agustus lalu setelah Perdana Menteri Sheikh Hasina mengundurkan diri dan meninggalkan negara itu setelah 15 tahun berkuasa. Sejak itu telah dibentuk pemerintahan sementara yang baru, yang dipimpin oleh peraih anugrah Nobel Muhammad Yusuf, untuk mempersiapkan negara itu melangsungkan pemilu.
Kedutaan Besar Bangladesh di Washington belum memberikan tanggapan atas permintaan komentar VOA.
RSF Kecam Langkah Bangladesh
Dalam email kepada VOA, Célia Mercier dari Reporters Without Borders, yang dikenal sebagai RSF, mengatakan pencabutan kredensial pers harus diprotes karena dampaknya yang “mengerikan” terhadap wartawan lain di negara ini dan di seluruh dunia. “Keputusan semacam itu mengancam pertumbuhan kelompok oposisi media. Hal ini akan mendorong penyensoran mandiri, sementara ruang kritis di media akan menyusut.”
Pengawas media, Komite Perlindungan Jurnalis CPJ, juga mengecam tindakan tersebut, dengan mengatakan di media sosial, “Pemerintah sementara harus menjaga kebebasan pers selama periode kritis transisi politik negara ini.”
Pemerintahan Hasina jatuh akibat protes massa yang dipimpin mahasiswa terkait usulan perubahan kebijakan penerimaan universitas dan tanggapan keras dari pasukan keamanan. Selama kerusuhan, lima wartawan tewas, dan lainnya dipukuli serta ditembaki. Para wartawan saat itu mengatakan kepada VOA bahwa mereka diancam karena liputan mereka.
BACA JUGA: Pemimpin Sementara Bangladesh: Pengunduran Diri Sekutu-sekutu Hasina SahDalam Indeks Kebebasan Pers Dunia, saat ini Bangladesh berada di peringkat 165 dari 180 negara, dengan angka 1 menunjukkan lingkungan terbaik. RSF, yang menyusun indeks tersebut, menggambarkan Bangladesh sebagai lingkungan yang “bermusuhan” bagi wartawan, sehingga para editor sering menghindari pandangan yang bertolakbelakang dengan pemerintah. RSF mengatakan pada bulan-bulan terakhir pemerintahan Hasina, diberlakukan undang-undang yang “kejam” bagi wartawan.
Pemerintahan Hasina memberlakukan Undang-Undang Keamanan Siber pada bulan Januari, yang memungkinkan pihak berwenang memenjarakan wartawan hingga 14 tahun karena menerbitkan konten yang bertentangan dengan perdana menteri dan partai yang berkuasa. [em/lt]