Pemerintah akan mengutamakan pinjaman untuk pengembangan sektor usaha milik negara karena perusahaan swasta berisiko tinggi.
Kepala Pusat Investasi Pemerintah (PIP), Soritaon Siregar, mengatakan bahwa pemerintah akan mengutamakan pemberian pinjaman untuk pengembangan sektor usaha milik negara karena perusahaan swasta berisiko tinggi.
Soritaon menegaskan tingkat risiko tinggi dalam proses dan realisasi pinjaman untuk perusahaan swasta membuat PIP lebih mengutamakn memberi pinjaman ke sektor usaha milik negara.
Ia menambahkan prioritas pinjaman untuk perusahaan negara sekaligus untuk mempercepat realisasi pelaksanaan proyek Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang sudah dicanangkan pemerintah tahun lalu.
“Kita tidak menghitung presentasinya, tapi yang pasti untuk swasta itu risk appetite-nya (tingkat risiko yang dapat diterima) sangat tinggi. Kita betul-betul sudah hitung semuanya, makanya kita belum masuk ke swasta. Kita sedang menyusun SOP dan infrastrukturnya supaya swasta bisa kita beri pinjaman,” ujarnya kepada wartawan pada Senin (16/7).
PIP merupakan badan layanan umum atau instansi di lingkungan pemerintah, dalam hal ini di bawah Kementerian Keuangan, yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan.
PIP fokus pada pemberian pembiayaan infrastruktur daerah karena terbatasnya anggaran daerah sehingga PIP menilai pemerintah pusat harus membantu agar ekonomi di daerah bergerak. Terakhir, langkah PIP mengambil alih pembelian saham PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT) mendapat reaksi keras dari Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan DPR RI karena PIP dinilai menggunakan anggaran negara tanpa izin dari DPR. DPR juga mendesak kepemilikan saham Newmont sebaiknya diserahkan ke pemda untuk kemajuan ekonomi di daerahnya.
Namun PIP bersikukuh membeli saham Newmont karena kepemilikan saham sebelumnya yang ditawarkan Newmont dan menjadi hak Pemda NTB ternyata dijual kembali ke pihak swasta yaitu ke perusahan milik Aburizal Bakrie. Langkah Pemda NTB tersebut membuat pemerintah pusat merasa kecewa dan berupaya membeli sebagian sahan Newmont yang menjadi hak pemerintah Indonesia.
Sampai saat ini proses pembelian saham Newmont masih dalam tahap sidang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) di Mahkamah Konstitusi. Sementara PIP juga tetap aktif memberi pinjaman ke daearh-daerah yang ingin mengembangkan usaha terutama infrastruktur.
Menurut pengamat otonomi daerah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI, Siti Zuhro, meski diberi keleluasaan untuk setiap daerah untuk mengembangkan perekonomiannya, pemerintah pusat harus tetap melakukan kontrol. Diingatkannya, apalagi terkait dengan investasi dari sumber daya alam, pemerintah pusat memiliki hak paling tinggi karena investasi tersebut merupakan aset negara.
“Dalam konteks otonomi daerah, tidak hanya desentralisasi tapi juga ada dekonsentrasi. Karena semua daerah menjadi bagian integral tak terpisahkan dari Indonesia, kemajuan daerah juga termasuk kegagalam daerah ini juga harus menjadi domain pemerintah nasional yang memiliki otoritas untuk menata daerah.
“Berarti disitu juga evaluasi juga menjadi otoritas pemerintah nasional, memberikan pengarahan bagaimana seharusnya daerah-daerah itu melaksanakan capaian positif dalam konteks otonomi daerah, jadi bukannya lalu dengan otonomi daerah berarti keleluasaan yang seluas-luasnya, tidak bisa,” ujarnya.
Soritaon menegaskan tingkat risiko tinggi dalam proses dan realisasi pinjaman untuk perusahaan swasta membuat PIP lebih mengutamakn memberi pinjaman ke sektor usaha milik negara.
Ia menambahkan prioritas pinjaman untuk perusahaan negara sekaligus untuk mempercepat realisasi pelaksanaan proyek Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang sudah dicanangkan pemerintah tahun lalu.
“Kita tidak menghitung presentasinya, tapi yang pasti untuk swasta itu risk appetite-nya (tingkat risiko yang dapat diterima) sangat tinggi. Kita betul-betul sudah hitung semuanya, makanya kita belum masuk ke swasta. Kita sedang menyusun SOP dan infrastrukturnya supaya swasta bisa kita beri pinjaman,” ujarnya kepada wartawan pada Senin (16/7).
PIP merupakan badan layanan umum atau instansi di lingkungan pemerintah, dalam hal ini di bawah Kementerian Keuangan, yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan.
PIP fokus pada pemberian pembiayaan infrastruktur daerah karena terbatasnya anggaran daerah sehingga PIP menilai pemerintah pusat harus membantu agar ekonomi di daerah bergerak. Terakhir, langkah PIP mengambil alih pembelian saham PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT) mendapat reaksi keras dari Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan DPR RI karena PIP dinilai menggunakan anggaran negara tanpa izin dari DPR. DPR juga mendesak kepemilikan saham Newmont sebaiknya diserahkan ke pemda untuk kemajuan ekonomi di daerahnya.
Namun PIP bersikukuh membeli saham Newmont karena kepemilikan saham sebelumnya yang ditawarkan Newmont dan menjadi hak Pemda NTB ternyata dijual kembali ke pihak swasta yaitu ke perusahan milik Aburizal Bakrie. Langkah Pemda NTB tersebut membuat pemerintah pusat merasa kecewa dan berupaya membeli sebagian sahan Newmont yang menjadi hak pemerintah Indonesia.
Sampai saat ini proses pembelian saham Newmont masih dalam tahap sidang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) di Mahkamah Konstitusi. Sementara PIP juga tetap aktif memberi pinjaman ke daearh-daerah yang ingin mengembangkan usaha terutama infrastruktur.
Menurut pengamat otonomi daerah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI, Siti Zuhro, meski diberi keleluasaan untuk setiap daerah untuk mengembangkan perekonomiannya, pemerintah pusat harus tetap melakukan kontrol. Diingatkannya, apalagi terkait dengan investasi dari sumber daya alam, pemerintah pusat memiliki hak paling tinggi karena investasi tersebut merupakan aset negara.
“Dalam konteks otonomi daerah, tidak hanya desentralisasi tapi juga ada dekonsentrasi. Karena semua daerah menjadi bagian integral tak terpisahkan dari Indonesia, kemajuan daerah juga termasuk kegagalam daerah ini juga harus menjadi domain pemerintah nasional yang memiliki otoritas untuk menata daerah.
“Berarti disitu juga evaluasi juga menjadi otoritas pemerintah nasional, memberikan pengarahan bagaimana seharusnya daerah-daerah itu melaksanakan capaian positif dalam konteks otonomi daerah, jadi bukannya lalu dengan otonomi daerah berarti keleluasaan yang seluas-luasnya, tidak bisa,” ujarnya.