Seorang perempuan warga Sorong, Papua Barat, berang betul mendengar dari seorang tetangganya, Selasa siang (9/1), bahwa putrinya GM dipukul orang mabuk ketika sedang membeli permen sepulang sekolah.
Ia kemudian meninggalkan KM yang baru berusia empat tahun di rumah dan pergi ke rumah orang yang diduga memukul anak sulungnya itu. Namun saat kembali ke rumah, KM hilang tak tentu rimbanya.
Informasi dari beberapa tetangga dan juga GM menyatakan bahwa KM diajak D, seorang remaja kampung itu, ke arah hutan. Warga, dibantu beberapa anggota Babinsa Koramil Sorong Timur, bergegas melakukan pencarian. Tiga jam kemudian mayat KM ditemukan di dalam lumpur, dengan pendarahan di bagian kemaluan. Otopsi di RSUD Kabupaten Sorong menunjukkan gadis kecil itu diperkosa oleh lebih dari satu orang.
Aparat keamanan bergerak cepat. Dua pelaku ditangkap sore itu juga, satu lainnya Rabu pagi. Namun amarah warga tak terbendung. Rumah salah seorang pelaku hangus dibakar massa.
Ketiga tersangka pelaku diidentifikasi sebagai RW, LG dan NK, ketiganya berusia 18 tahun, bekerja sebagai buruh bangunan dan mereka adalah tetangga korban. Ketiganya tidak bisa berkelit ketika kakak korban, GM, memastikan kepada polisi bahwa RW yang memukulnya di warung dan kemudian mengajak adiknya pergi ketika ibu mereka tidak berada di rumah.
Dalam interogasi lebih lanjut, ketiga pelaku memakai alasan sedang mabuk minuman keras ketika memperkosa korban bersama-sama.
Diwawancarai VOA, aktivis perempuan di Sorong, Anita Rahayu mengatakan, mengingat ini bukan kasus pertama, kota Sorong kini mengalami “darurat seksualitas” terhadap anak di bawah umur.
Anita, yang juga ketua lembaga swadaya masyarakat Perempuan Bangsa Papua Barat, menuntut agar pemerintah segera memberlakukan hukuman kebiri.
“Kasus kekerasan terhadap anak di bawah umur sekarang sedang marak. Pelaku selalu beralasan karena minuman keras. Kota Sorong kini menghadapi darurat seksualitas. Saya ingin pelaku dihukum seberat-beratnya karena sangat tidak berperikemanusiaan. Saya berharap hukum kebiri diberlakukan," ujar Anita.
Anggota DPR dari Komisi IV Nihayatul Wafiroh menuntut pemerintah menuntaskan kasus ini secepatnya dan menyerukan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
“Kita sudah kehilangan ananda YY dan sekarang kita kehilangan ananda KM. Apakah kita akan membiarkan anak-anak kita terus menjadi korban," tulis anggota Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Twitter.
Hukuman Kebiri dan Hukuman Mati Tidak Efektif
Pertengahan tahun 2016 lalu, menanggapi maraknya aksi kekerasan seksual terhadap anak dan meluasnya tuntutan masyarakat supaya pemerintah mengambil tindakan tegas, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1/2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Perppu itu memuat pemberatan hukuman antara lain hukuman kebiri dan pemasangan alat deteksi elektronik pada pelaku.
Perppu itu disetujui DPR menjadi undang-undang pada Oktober 2016, meskipun ada dua fraksi – Gerindra dan Partai Kesejahteraan Sosial (PKS) – yang menolaknya.
Rahayu Saraswati Djoyohadikusumo dari fraksi Gerinda menilai solusi yang ditawarkan peraturan itu tidak efektif untuk melindungi anak, dan karenanya lebih mendukung percepatan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai bentuk perlindungan anak. Hal senada disampaikan fraksi PKS yang menilai penerapan hukuman kebiri yang ada dalam undang-undang baru itu bukan satu-satunya solusi melindungi anak.
Komisi Nasional Anti-Kekerasan Perempuan (Komnas Perempuan) juga menolak hukuman kebiri dan hukuman mati tersebut, "mengkhawatirkan bahwa pemberlakuan Perppu yang berisi pemberatan hukuman ini hanya semata-mata untuk merespon desakan emosional publik, tanpa mempertimbangkan keroposnya penegakan hukum yang ada di Indonesia."
Pakar hukum yang juga anggota Ombudsman, Ninik Rahayu, menyuarakan hal serupa.
“Saya sudah meminta ORI (Ombudsman Republik Indonesia), khususnya perwakilan di Papua Barat, untuk mengawal kasus biadab ini. Kepolisian harus memproses pelaku secara cepat dan mempublikasikannya agar tidak menimbulkan ketakutan pada warga akan kemungkinan terjadinya kasus serupa," ujarnya.
"Kepolisian harus memberi perlindungan pada keluarga korban, sementara P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) yang ada dibawah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlidungan Anak memulihkan keluarga korban. Tetapi saya tidak setuju dengan hukuman kebiri," ujar Ninik.
Mantan anggota Komnas Perempuan ini menilai pelaku tidak saja perlu diberi hukuman yang membuat mereka jera, tetapi juga mengembalikan martabat kemanusiaannya.
“Saya tetap memandang tidak perlu dikebiri. Pelaku kejahatan seksual tidak saja perlu diberi hukuman rehabilitasi, baik dengan pendekatan medis atau bukan, tetapi juga mengubah pola pikir mereka tentang patriarki dan martabat kemanusiaan”, ujar Ninik.
Mengenai aspek keadilan bagi korban, Ninik mengatakan hal itu merupakan bagian dari tanggung jawab negara.
“Memang ada posisi yang berbeda antara korban dan pelaku. Keadilan bagi korban dimaknai tidak saja dengan memulihkan korban secara medis dan psikologis, tetapi juga keluarga dan masyarakat yang turut terluka dengan peristiwa itu. Keadilan bagi korban juga diberikan oleh pemerintah dengan memastikan pelaku benar-benar 'sembuh' dalam arti kembali dikenai hukuman yang membuatnya jera dan berdaya kembali secara hukum dan sosial, sehingga kasus serupa tidak terulang lagi," ujar Ninik.