Uni Afrika: Gaddafi Terima Rencana Gencatan Senjata

Pemimpin Libya Moammar Gaddafi (kanan) berbicara dengan Presiden Afrika Selatan Jacob Zuma (tengah) di Tripoli, Minggu (10/4).

Sementara itu, kubu oposisi Libya mengatakan tidak akan menyetujui proposal yang tidak mencantumkan pengunduran diri Moammar Gaddafi.

Presiden Afrika Selatan Jacob Zuma, yang memimpin delegasi para pemimpin Afrika ke ibukota Libya, mengatakan Moammar Gaddafi telah menerima rencana gencatan senjata dengan pemberontak anti-pemerintah.

Para pejabat Uni Afrika mengatakan proposal tersebut menyerukan gencatan senjata dengan segera, perundingan antara pemberontak dan pemerintah, perlindungan warga negara asing di Libya dan perluasan bantuan kemanusiaan untuk warga sipil.

Zuma mengatakan delegasi Uni Afrika akan melakukan perjalanan ke benteng pemberontak di Benghazi, Senin, di mana mereka berencana menyampaikan rencananya kepada pemimpin oposisi. Para pemberontak mengatakan mereka tidak akan menerima apapun ketentuan yang tidak mengakhiri kekuasaan Gaddafi, sementara para pejabat Libya mengatakan ia tidak akan mengundurkan diri

Pemimpin Afrika Selatan juga menyerukan NATO untuk menghentikan serangan udara terhadap sasaran-sasaran pemerintah untuk memberikan kesempatan bagi gencatan senjata. Ia bersama tiga pemimipin negara Afrika lainnya, bertemu dengan Gaddafi selama beberapa jam hari Minggu di kompleksnya di Tripoli.

Sementara itu, serangan udara pasukan NATO telah mendorong pendukung setia keluar dari kota strategis Ajdabiya timur, dilaporkan para pemberontak dapat mengembalikan kendalinya di sana.

NATO mengatakan hari Minggu serangan udara mereka telah menghancurkan 11 tank pemerintah di dekat Ajdabiya dan 14 lainnya di dekat kota yang dikuasai pemberontak di Misrata barat. Letnan Jenderal Charles Bouchard mengatakan serangan itu diperlukan karena pasukan pendukung Gadhafi secara brutal membom Libya.

Juru bicara pemberontak Libya Kolonel Hamid Hassy kepada Associated Press mengatakan penembakan besar-besaran dari pasukan pemerintah di dekat Ajdabiya sebagian besar berhenti setelah serangan udara NATO.