Perdana Menteri Kamboja Hun Sen akan memulai kunjungan ke Myanmar yang dilanda perselisihan, Jumat (7/1). Kunjungan itu, menurutnya, akan memperkuat upaya negara-negara Asia Tenggara untuk memulai proses perdamaian, tetapi para kritikus mengatakan kunjungan tersebut justru akan melegitimasi penguasa militer yang merebut kekuasaan tahun lalu dan kampanye kekerasannya.
Hun Sen, yang negaranya menjabat sebagai ketua bergilir Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara, atau ASEAN, berencana untuk bertemu dengan pemimpin Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, dalam upaya untuk mempromosikan rencana lima poin yang didukung oleh kelompok itu tahun lalu, dan mengupayakan gencatan senjata.
“Yang ingin saya angkat ke dalam pembicaraan itu tidak lain adalah lima poin. Poin-poin konsensus yang disepakati oleh semua negara anggota ASEAN," katanya, Rabu malam (5/1).
Poin-poin itu termasuk penghentian kekerasan, pembicaraan dengan oposisi tentang resolusi damai, dan izin bagi utusan khusus ASEAN untuk bertemu dan menengahi semua pihak dalam konflik.
Para pemimpin ASEAN, termasuk Min Aung Hlaing, menyepakati poin-poin itu April lalu. Ia dilarang menghadiri pertemuan ASEAN pada Oktober setelah utusan kelompok itu dicegah untuk bertemu dengan pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi yang saat ini dipenjarakan dan sejumlah tahanan lainnya.
Menteri Luar Negeri Kamboja Prak Sokhonn, utusan khusus saat ini, mengatakan lawatan Hun Sen selama dua hari diperlukan karena situasi di Myanmar memburuk dengan cepat.
“Krisis politik dan keamanan di Myanmar semakin mendalam dan telah menyebabkan krisis ekonomi, kesehatan, dan kemanusiaan. Kami melihat bahwa semua faktor yang bisa memicu perang saudara muncul di sana. Ada dua pemerintahan, beberapa angkatan bersenjata, orang-orang yang melakukan gerakan pembangkangan sipil, dan perang gerilya,'' kata Prak Sokhonn kepada ISEAS-Yusof Ishak Institute yang berbasis di Singapura melalui konferensi video Senin lalu.
Militer Myanmar mengatakan Hun Sen tidak akan diizinkan bertemu Suu Kyi.
Para kritikus dan oposisi Myanmar mengatakan kunjungan Hun Sen seakan melegitimasi para penguasa militer yang terkenal dengan sejarah pertumpahan darahnya, termasuk tindakan brutal terhadap minoritas Muslim Rohingya.
BACA JUGA: PM Kamboja Bertemu Menlu Myanmar“Lawatan Hun Sen merupakan kabar baik bagi pemerintah militer Myanmar. Kunjungan kepala pemerintahan dari wilayah itu sendiri merupakan legitimasi terhadap pemerintah junta,'' kata Astrid Noren-Nilsson, seorang pakar di Pusat Studi Asia Timur dan Tenggara di Universitas Lund di Swedia. “Padahal, tidak mungkin bahwa kelompok-kelompok oposisi, termasuk mereka yang terlibat dalam perjuangan bersenjata, akan dengan mudah menerima rencana ASEAN selama militer masih berkuasa.”
Militer merebut kekuasaan Februari lalu sehingga mencegah partai Liga Nasional untuk Demokrasi pimpinan Suu Kyi memulai masa jabatan kedua. Partai tersebut telah meraih kemenangan telak dalam pemilu November 2020.
BACA JUGA: Pengadilan Myanmar Tunda Vonis Kasus ke-2 Suu KyiPada Desember, Suu Kyi dinyatakan bersalah atas tuduhan penghasutan dan pelanggaran pembatasan virus corona dan dijatuhi hukuman empat tahun penjara, hukuman yang kemudian dipotong oleh Min Aung Hlaing menjadi setengahnya.
Perebutan kekuasaan oleh militer memicu demonstrasi non-kekerasan secara nasional, yang kemudian ditumpas oleh pasukan keamanan dengan kekuatan mematikan. Militer dalam beberapa bulan terakhir terlibat dalam tindakan keras besar-besaran, penahanan, penghilangan paksa, dan pembunuhan di luar proses hukum. Mereka juga telah melancarkan serangan udara dan serangan darat terhadap kelompok-kelompok etnis bersenjata. [ab/uh]