Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha menjawab pertanyaan wartawan mengenai apakah dia akan mengikuti jejak Perdana Menteri Inggris David Cameron, yang mengumumkan akan mundur bulan Oktober setelah referendum 'Brexit', di mana para pemilih di Inggris menolak sikap Cameron untuk tetap bergabung dalam blok Uni Eropa.
Para pemimpin partai Pheu Thai, yang pemerintahannya digulingkan lewat kudeta militer yang dipimpin Prayuth pada bulan Mei 2014, menganjurkan agar dia mengikuti jejak Cameron dan mengundurkan diri apabila rancangan konstitusi tidak disetujui dalam referendum tanggal 7 Agustus mendatang.
Partai itu menentang rancangan tersebut, menyebutnya tidak demokratis. Prayuth mengatakan tidak berniat untuk mundur, karena Inggris tidak punya masalah yang sama dengan Thailand – merujuk pada gangguan politik dan kekerasan di negara Asia Tenggara itu dalam satu dasawarsa terakhir dan karena, tidak seperti Cameron, dia tidak terpilih lewat pemilu.
“Situasinya berbeda,” kata Prayuth. “Kenapa? Kamu mau saya mundur atau apa? Saya tidak akan mundur. Bukan saya yang membuat peraturan. Dia tidak menjabat seperti saya. Negara mereka (Inggris) tidak punya masalah yang sama seperti kita,” tegasnya.
Pemerintah menerapkan peraturan yang ketat dan membatasi kampanye untuk memilih ‘ya’ atau ‘tidak’ mengenai rancangan konstitusi itu, tetapi tidak konsisten dalam menginterpretasikan dan menegakkannya.
Para pelanggar hukum bisa dikenai hukuman penjara 10 tahun. Meskipun secara teknis aturan itu tidak memihak, tapi batasan itu jelas ditujukan pada para penentang rancangan itu.
Para mahasiswa yang menentang rancangan itu ditangkap pekan lalu karena berupaya menyebarkan selebaran yang menganjurkan agar memilih "tidak". Sementara itu pemerintah mengatakan sedang mempertimbangkan tindakan apa yang akan dikenakan terhadap para pendukung dan penentang rancangan itu yang baru-baru ini menggunakan siaran Facebook Live untuk menyatakan opini mereka. [vm/jm]