Pendapat Para Pakar Setelah Kecelakaan Boeing 737 Max 8

Pesawat Boeing 737 Max 8 milik maskapai penerbangan A SilkAir di tarmac dekat hangar di Bandara Changi, Singapore, 12 Maret 2018. (Foto: dok).

Kecelakaan pesawat Boeing 737 Max 8 milik Ethiopia Airlines pada Minggu pagi (10/3), kurang dari lima bulan setelah pesawat model yang sama mengalami kecelakaan di Indonesia, telah menimbulkan pertanyaan tentang keamanannya. Sebagian maskapai penerbangan di seluruh dunia telah melarang terbang armada pesawat Boeing 737 Max 8 setelah kecelakaan hari Minggu itu, tetapi maskapai-maskapai penerbangan di Amerika Serikat belum melakukannya.

Para pakar mengatakan jet 737 Max 8 memiliki sistem operasi yang berbeda dengan 737 model sebelumnya, dan sangat penting untuk memastikan penyebab kecelakaan sebelum menarik suatu kesimpulan.

Ketika dunia berduka untuk 157 orang yang tewas dalam kecelakaan hari Minggu, para ahli kini mendiskusikan apa yang mungkin menyebabkan pilot pesawat 737 Max 8 mengirim tanda bahaya tidak lama setelah lepas landas. Seorang pejabat keselamatan penerbangan Inggris mengatakan Boeing 737 Max 8 adalah pesawat yang sangat berbeda dengan model 737 sebelumnya yang selama ini kita kenal.

Your browser doesn’t support HTML5

Pendapat Para Pakar Setelah Kecelakaan Boeing 737 MAX 8

Dai Whittingham, Kepala Eksekutif, Komite Keselamatan Penerbangan Inggris, mengatakan, “Saya diberitahu oleh orang-orang yang pernah menerbangkannya bahwa menerbangkan pesawat model ini sangat menyenangkan. Maskapai-maskapai penerbangan menyukainya. Bahan bakar untuk pesawat ini 14 hingga 15 persen lebih efisien, dan itu sangat besar, tetapi kini timbul pertanyaan tentang sistem dalam pesawat. Namun, harus diingat bahwa Boeing, dalam mengembangkan dan memproduksinya, telah mengikuti semua prosedur persis seperti yang disyaratkan oleh Badan Penerbangan Federal (FAA). Jadi, Boeing telah memiliki rancang bangun yang disertifikasi dan disetujui. Boeing telah menunjukkan bahwa pesawat model itu sesuai dengan berbagai standar yang ada.”

Kecelakaan itu mirip dengan kecelakaan pesawat Lion Air Oktober lalu yang jatuh ke Laut Jawa, menewaskan seluruh penumpang dan awaknya yang berjumlah 189 orang. Kedua kecelakaan terjadi pada pesawat Boeing 737 Max 8, dan keduanya terjadi beberapa menit setelah lepas landas.

John Strickland, ahli penerbangan dari JLS Consulting, menyampaikan pendapatnya, “Kecelakaan sangat rumit. Jadi, ada begitu banyak faktor yang begitu acak yang dapat menyebabkan atau berkontribusi pada kecelakaan pesawat. Namun, tidak mungkin untuk menarik kesimpulan dari informasi yang tampaknya mirip itu.”

Para penyelidik Indonesia belum menentukan penyebab kecelakaan pada bulan Oktober itu, tetapi setelah kecelakaan tersebut, Boeing mengirimkan pemberitahuan kepada seluruh maskapai penerbangan pengguna jenis pesawat itu bahwa informasi yang salah dari sensor dapat menyebabkan pesawat secara otomatis mengarahkan hidungnya ke bawah. Pemberitahuan itu mengingatkan pilot tentang prosedur untuk mengatasi situasi demikian.

Roger Whitefield, Kepala Keselamatan dan Mutu British Airways, menjelaskan, “Ada begitu banyak sistem keselamatan, bukan hanya pada 737, tetapi pada semua pesawat terbang modern yang akan mencegah seorang pilot membuat apa yang dianggap oleh komputer sebagai input yang salah. Ini bukan debat kecerdasan buatan. Ini sekedar perlu diketahui bahwa ada beberapa sistem yang menghalangi pilot untuk memasukkan koreksi terlalu besar, input terlalu besar, atau menghalangi pilot untuk melakukan sesuatu yang kontraproduktif. Saya kira ini adalah sistem yang kadang-kadang menolak apa yang coba dilakukan oleh pilot untuk menyelamatkan situasi.”

Boeing 737 pertama kali diperkenalkan pada tahun 1967 dan merupakan salah satu jet penumpang paling umum di dunia. Model baru Max 8 pertama kali dipakai untuk penerbangan komersial pada tahun 2017.

Saham Boeing anjlok 10 persen pada hari Senin (11/3) setelah kecelakaan di Ethiopia itu. [lt/ab]