Pengadilan Pakistan Haruskan Agama Disebut dalam Dokumen Resmi

Rumah seorang warga Ahmadiyah di Gujranwala, Pakistan dibakar oleh massa yang marah (foto: ilustrasi).

Para aktivis hak azasi manusia di Pakistan hari Minggu (11/3) mengutarakan keprihatinan atas keputusan pengadilan yang akan mengharuskan orang menyatakan agama mereka dalam semua dokumen resmi, dengan mengatakan itu akan menimbulkan penindasan terhadap minoritas, terutama para penganut agama Ahmadiyah.

Keputusan Pengadilan Tinggi Islamabad hari Jumat (9/3) juga mengharuskan warga mengambil sumpah agama ketika menjadi pegawai negeri, anggota angkatan bersenjata atau kehakiman.

Zohra Yusuf, seorang anggota komisaris Komisi Hak Azasi Manusia Pakistan, menyebut keputusan itu “sangat berbahaya.” Dia mengatakan organisasinya akan mengeluarkan pernyataan dalam beberapa hari mendatang.

“Agama adalah urusan pribadi seseorang, bukan untuk dipamerkan kepada umum,” kata Yusuf.

“Pengambilan sumpah hanyalah bentuk diskriminasi, dan akan menunjukkan pemerintah tidak percaya bahwa minoritas juga patriotis,” tandasnya.

Keputusan itu tampaknya ditujukan terhadap kaum Ahmadiyah, yang menghormati pendiri agama mereka pada abad ke-19 (Mirza Ghulam Ahmad) sebagai seorang Nabi. Pakistan menyatakan bahwa sekte Ahmadiyah bukan Muslim pada tahun 1974. Mereka sudah menghadapi diskriminasi luas dan sering diserang oleh kelompok ekstremis.

Sumpah jabatan itu akan mengharuskan orang menyatakan bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir yang diutus oleh Allah, yang merupakan pengingkaran keyakinan pokok kelompok Ahmadiyah.

“Pengadilan seharusnya memberi kami kesempatan untuk mengajukan pandangan kami sebelum keputusan tersebut, yang telah meningkatkan kerentanan kami sebagai masyarakat,” kata Saleem Uddin, juru bicara masyarakat Ahmadiyah Pakistan.

Ia mengemukakan bahwa beberapa anggota Ahmadiyah telah dibunuh oleh ekstremis agama dalam beberapa tahun ini, dan bahwa harta benda dan rumah ibadah mereka telah diserang. Ia mengatakan masyarakat tersebut sedang konsultasi dengan para pakar hukum dan kemungkinan akan menentang keputusan itu.

Zia Awan, seorang lagi aktivist hak azasi, mengatakan keputusan pengadilan itu akan mendorong aksi kelompok ekstremis.

“Saya takut ini akan membahayakan kelompok minoritas lebih jauh dan meningkatkan diskriminasi,” katanya. [gp]