Kaget dan kagum. Dua kata itu menggambarkan perasaan tiga orang Indonesia yang berpuasa Ramadan di Amerika untuk pertama kalinya.
Pengalaman itu tidak mudah karena Amerika sekarang sedang mengalami musim panas sehingga waktu berpuasa menjadi lebih lama dibandingkan dengan di Indonesia. Di pantai timur Amerika, masa berpuasa kira-kira 16 jam sampai 17 jam. Tetapi di bagian lain Amerika, setiap hari Muslim berpuasa lebih dari 18 jam.
"Kaget. Ternyata berat juga berpuasa di Amerika," ujar Nanang Wijanarko yang berasal dari Yogyakarta dan sedang mengunjungi istri yang baru saja selesai menuntut ilmu dan menyiapkan penelitian lanjutan pasca doktoral.
Meski tidak mudah, bagi Nanang, juga Lia Sari Oktara dan Andry Yusuf, berpuasa kali ini memberi pengalaman batin tak terlupakan sehingga menghapus kesulitan yang ada.
Lia, yang berasal dari Aceh dan sedang menempuh pendidikan pasca sarjana, harus tetap kuliah sepanjang Juli karena semua program perkuliahan harus tuntas akhir tahun ini. Yusuf, asal Jakarta, bersyukur umumnya perkuliahan libur, tetapi ia perlu menyelesaikan beberapa urusan.
Dari pengalamannya, Nanang juga menyatakan kekagumannya terhadap Amerika karena tingginya toleransi yang diberikan pada umat Islam. Bagi Lia, ia perlu menjelaskan kepada teman-teman kuliah apa itu puasa dan apa itu Islam.
"Saya juga jelaskan tentang sholat, ada lima waktu, dan tidak bisa dilakukan sekaligus," ujarnya.
Satu hal yang membuat tidak mudah berpuasa di negeri orang, bagi Nanang, Lia, maupun Yusuf, kerinduan akan ta’jil, makanan kecil untuk berbuka puasa. Namun, pada akhir pekan, semua kerinduan itu bisa mereka dapat dengan menghadiri acara berbuka puasa bersama keluarga besar Indonesia di Wisma Indonesia.