Konferensi Islam-Amerika Minggu (21/5) berlangsung di Ibu Kota Riyadh, Arab Saudi. Forum yang digagas Raja Arab Saudi Salman bin Abdul Aziz ini merupakan pertemuan pertama antara negara-negara berpenduduk mayoritas muslim dengan pemerintahan baru Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump.
Ada sekitar 50 kepala negara/pemerintahan yang hadir, namun Iran dan Suriah tidak masuk dalam daftar undangan.
Konferensi ini memang berfokus pada upaya memerangi terorisme dan radikalisme. Dalam pidatonya Trump menyatakan Amerika mendorong negara-negara mayoritas muslim bersatu untuk memerangi terorisme dengan menggunakan berbagai cara. Dia menambahkan Amerika akan menyerahkan upaya melawan terorisme itu kepada negara-negara mayoritas muslim. Artinya, Amerika tidak akan berada di garis depan tapi mendukung dari belakang.
Trump menekankan negaranya tidak ingin menggurui negara-negara muslim namun mendesak mereka untuk serius memerangi terorisme.
Pengamat pertahanan dari Universitas Pertahanan Dr Connie Rahakundini Bakrie kepada VOA, Selasa (23/5) menilai pidato Trump dalam Konferensi Islam-Amerika itu serius dan akan dilaksanakan. Dia menggarisbawahi sejak awal Trump memang tidak suka dengan kebijakan Amerika sebelumnya soal Timur Tengah di bawah kepemimpinan barack Obama.
Menurut Connie, Trump tidak setuju dengan kebijakan Obama di Timur Tengah yang mengacak-acak negara lain dan tidak memperoleh manfaat. Dia menilai Trump itu lebih realistis. Dalam pidatonya mengenai perang terhadap terorisme, tambah Connie, Trump tidak berniat memojokkan Islam.
Your browser doesn’t support HTML5
“Pertama, dia membelahnya antara manusia baik dan manusia jahat. Bukan agama baik atau agama buruk. Kedua, buat Trump yang penting dagangan gue laku. Nomor tiga, dia itu sangat percaya diri bilang kamu percaya diri sendiri aja, nggak usah nunggu Amerika Serikat. Artinya secara tidak langsung dia bikin sikap kami akan mundur dan kalian mengatur penyelesaian damai atas konflik di Timur Tengah,” ujar Connie.
Paling penting pidato Trump, menurut Connie, adalah pernyataannya yang mengatakan tidak ingin mendikte atau menggurui negara-negara Islam. Dia memandang hal itu sebagai koreksi terhadap kebijakan-kebijakan Amerika di pemerintahan sebelumnya.
Connie yakin aliansi Amerika dan negara-negara muslim dalam memberantas radikalisme dan terorisme tidak akan berakibat pada pelanggaran hak asasi manusia.
Mengenai seruan Presiden Joko Widodo untuk menggunakan pendekatan soft power dalam memerangi terorisme, Connie melihat ada dua aspek dalam pesan Jokowi tersebut. Selain ditujukan kepada masyarakat internasional, juga untuk rakyat Indonesia karena isu radikalisme dan terorisme sedang hangat di tanah air.
Dalam konteks modern, kata Connie, tidak mungkin mengandalkan soft power saja dalam menghadapi terorisme, namun harus menitikberatkan pada smart power, gabungan antara hard power dan soft power. Jadi, tambah Connie, perlu ada ketegasan di titik tertentu dalam memerangi radikalisme dan terorisme.
Terkait pemutusan jaringan dana bagi terorisme, Connie menekankan perlu ada kontrol dari masing-masing negara untuk menjaga agar aliran dana agar tidak sampai diterima oleh organisasi-organisasi teroris. Dia menegaskan salah satu kunci memberantas radikalisme dan terosime adalah dengan menutup keran uang mereka.
Mantan Pelapor Khusus PBB mengenai situasi HAM di Palestina, Makarim Wibisono, melihat ada kesenjangan untuk memerangi terorisme dengan realitas di lapangan. Dia mengatakan untuk memberantas terorisme memang dibutuhkan tindakan kolektif masyarakat dunia bukan masing-masing negara.
“Kalau kita perhatikan, nada daripada pidato Donald Trump adalah malah menargetkan Iran. Di sini merupakan salah satu dilema karena adanya celah antar bangsa-bangsa merupakan lahan paling subur buat menjalarnya terorisme. Kalau kita memang sungguh-sungguh ingin mengatasi masalah terorisme, kita harus benar-benar menjaga persatuan bangsa-bangsa. Jangan coba menghadapi Timur tengah dengan mengucualikan salah satu dari tokoh-tokoh bermain di sana. Karena itu namanya pendekatan eksklusif padahal yang dibutuhkan pendekatan inklusif,” ujar Makarim.
Makarim mengatakan banyak pihak masih menerka-nerka apa yang akan dilakukan Trump dalam memberantas terorisme dan radikalisme. Dia menyarankan Trump tidak melanjutkan kebijakan-kebijakan pemerintahan Amerika sebelumnya terkait isu Timur Tengah, agar kesalahan-kesalahan masa lalu tidak berulang.
Dia menambahkan untuk menangani terorisme perlu pendekatan dan dialog. Selain itu, dibutuhkan pula penyeragaman strategi dan pendekatan. [fw/ab]