Pengendalian Perubahan Iklim Global, Indonesia Targetkan 140 Juta Ton Karbon di 2030

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya (kanan), dan Presiden COP-26, Alok Sharma, memberikan keterangan terkait persiapan Indonesia jelang Conference of Parties (COP) ke-26 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Seni

Dalam upaya pengendalian perubahan iklim global, Indonesia menargetkan pada tahun 2030 bisa menyimpan 140 juta ton karbon dari sektor kehutanan. Namun, untuk target emisi karbon dari sektor energi masih sulit tercapai.

Menjelang perhelatan Konferensi Para Pihak atau Conference of Parties (COP) ke-26 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya, menjelaskan Indonesia akan memberikan kontribusi terbaik bersama negara lain untuk mencapai target dalam upaya pengendalian perubahan iklim global.

Langkah-langkah itu berkaitan dengan National Determination Contributions (NDC) Indonesia. Kata Siti, dalam penghitungan angka-angka emisi karbon dari segala sektor. Sektor hutan Indonesia akan mencapai karbon netral pada tahun 2030.

"Pada tahun 2030 itu sudah bisa netral. Bahkan sudah positif bisa menyimpan karbon sebanyak 140 juta ton," kata Siti, Senin (31/5).

BACA JUGA: Atasi Perubahan Iklim, Indonesia Dorong Sejumlah Proyek Emisi Nol Karbon 

Namun, Indonesia memiliki persoalan di sektor energi terkait emisi karbon. Target yang ingin dicapai pada sektor energi relatif lebih berat karena terdapat kebutuhan akan investasi dan teknologi cukup besar serta dukungan kerja sama teknis internasional dan sektor swasta. Misalnya dari hitungan-hitungan besarnya jumlah listrik dalam Giga Watt hour (GWh) yang akan terpengaruh harus dihitung dengan baik. Menurut Siti, ada hak yang harus diperhatikan ketika sektor energi dapat atau tidak dipenuhi oleh energi terbarukan.

"Kalau negara sejahtera konsumsi listrik harus di atas 3.500 sampai 5.400 KVA (kilo volt ampere). Kita baru 1040 sampai 1300 KVA. Jadi kita mesti kerja keras," ujar Siti.

Emisi dari PLTU Batubara milik Indonesia Power di Suralaya, Banten. (Foto dok: Reuters). Indonesia perlu bekerja keras menurunkan emisi dari PLTU-PLTU dengan batu bara.

Siti melanjutkan, Presiden Joko Widodo telah memberikan arahan pada sektor energi harus disiapkan peta jalan atau roadmap untuk penurunan emisi dari batu bara yaitu langkah-langkah pengaturan pabrik Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

"Presiden sudah memerintahkan untuk dibuat peta jalan untuk bagaimana mengurangi PLTU-PLTU yang didukung (bahan bakar) batu bara," jelasnya.

Presiden COP-26, Alok Sharma (foto: dok).

Sementara itu, Presiden COP-26, Alok Sharma, mengatakan kedatangan dirinya ke Jakarta untuk memperkuat komitmen Indonesia dan pemerintah Inggris dalam mencegah kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat celsius seperti yang disepakati pada Persetujuan Paris tahun 2015 lalu.

Dia memaparkan ada empat hal yang bisa dilakukan untuk mencapai target pembatasan kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat celsius. Pertama, menetapkan target agar mencapai (emisi) nol bersih pada pertengahan abad ini. Menetapkan target pengurangan emisi 2030 sebagai bagian dari upaya mencapai (emisi) nol bersih pada 2050. Kedua, setiap negara diminta untuk menetapkan prioritas adaptasi setelah tiba di Glasgow, Skotlandia.

"Lalu, kita harus memobilisasi keuangan untuk mengatasi perubahan iklim dengan memenuhi komitmen atas 100 miliar dolar yang pernah dijanjikan pada tahun 2015 oleh negara-negara donor dan berusaha mendapatkan aliran keuangan dari sektor swasta," ujar Alok.

Your browser doesn’t support HTML5

Pengendalian Perubahan Iklim Global, Indonesia Targetkan 140 Juta Ton Karbon di 2030


Kemudian, bekerja sama lintas batas dan masyarakat untuk menjaga target temperatur global di bawah 1,5 derajat celsius tersebut agar tetap dalam jangkauan.

"Kita harus membangun konsensus antar pemerintah negara di Glasgow nanti. Sehingga diskusi kita nanti bisa berhasil," tukas Alok.

COP ke-26 akan berlangsung pada 1 hingga 12 November 2021 di Glasgow, Skotlandia. Acara yang akan dihadiri oleh 190 pemimpin dunia itu merupakan gelaran akbar untuk menangani krisis lingkungan dan pemanasan global. [aa/em]