Penyandang Disabilitas Psikososial di Indonesia Sering Dipasung

  • Fathiyah Wardah

Peneliti Human Rights Watch, Andreas Harsono memaparkan laporan hasil penelitian HRW mengenai nasib para penyandang disabilitas psikososial di Indonesia (VOA/Fathiyah).

Hasil penelitian Human Rights Watch menunjukkan para penyandang disabilitas psikososial di Indonesia seringkali dipasung atau dipaksa menjalani pengobatan di institusi tertentu yang justru menggunakan tindakan kekerasan.

Human Rights Watch (HRW) baru-baru ini merilis hasil penelitiannya tentang kekerasan terhadap penyandang disabilitas psikososial di Indonesia. Ada 72 penyandang disabilitas psikososial – termasuk anak-anak – dan 10 anggota keluarga, pengasuh, pekerja profesional kesehatan jiwa, kepala institusi, pejabat pemerintah, dan pembela hak-hak disabilitas yang diwawancarai secara mendalam.

HRW juga mengunjungi 16 institusi di Jawa dan Sumatera, termasuk beberapa rumah sakit jiwa, panti sosial, dan pusat pengobatan keagamaan.

Laporan setebal 74 halaman yang diberi judul “Hidup di Neraka : Kekerasan terhadap Penyandang Disabilitas Psikososial di Indonesia” itu menguraikan bagaimana orang dengan kondisi kesehatan jiwa seringkali berakhir dengan dirantai atau dikurung di institusi yang penuh sesak dan sangat tidak sehat, tanpa persetujuan mereka.

Peneliti HRW, Andreas Harsono kepada VOA hari Senin (28/3) menjelaskan ada lebih dari delapan belas ribu orang di Indonesia dipasung. Mereka dikerangkeng dan dirantai. Para penyandang disabilitas tersebut tidak mempunyai akses ke toilet sehingga akhirnya mereka buang air kecil dan air besar, serta makan dan tidur di tempat yang hanya berjarak tak lebih satu sampai dua meter.

Human Rights Watch juga menemui pengurungan paksa yang dipraktikan sebagai tindakan rutin di rumah sakit jiwa dan panti sosial. Penyandang disabilitas psikososial dikurung paksa sebagai bentuk hukuman akibat tidak mengikuti perintah atau berusaha kabur. Mereka juga terkadang mengalami kekerasan fisik, seperti disetrum dan ditampar.

Selain itu di hampir separuh dari rumah sakit, institusi dan pusat pengobatan yang didatangi HRW, para petugas laki-laki mudah sekali keluar masuk bangsal atau penampungan perempuan tanpa monitor apapun, sehingga tak jarang penyandang disabilitas psikososial ini mengalami pelecehan dan kekerasan seksual.

"Orang ditaruh di panti sosial, baik itu milik swasta atau negara itu kan tidak senang, dikrangkeng apalagi. Yang perempuan ke kamar kecil itu dijagain oleh petugas laki-laki tidak ada pintunya atau campur. Banyak terjadi kekerasan seksual, pelecehan seksual. Tentu ada yang melarikan diri, kalau ketangkap dipukuli," papar Andreas.

Meskipun pemerintah telah melarang praktik pemasungan pada 1977, tetapi hingga kini masih ada pemasungan tehadap penyandang disabilitas psikososial. Menurut Andreas Harsono, pelarangan pemerintah tersebut tidak dibarengi dengan tindakan konkret seperti memberikan obat secara rutin bagi penyandang disabilitas psikososial.

Padahal – tambah Andreas – Indonesia telah meratifikasi hak-hak penyandang disabilitas yang menjamin hak setara bagi semua penyandang disabilitas termasuk menikmati hak atas kebebasan dan keamanan, bebas dari penyiksaan dan perilaku buruk.

Bahkan tiga tahun setelah ratifikasi itu, DPR juga meloloskan Undang-undang Kesehatan Jiwa. Ironisnya, UU itu memuat beberapa pasal yang berpotensi bermasalah, diantaranya membolehkan penyandang disabilitas dilucuti kewenangan dan haknya, yaitu hak membuat keputusan sendiri termasuk memilih penanganan perawatan medis.

Data pemerintah menunjukkan, anggaran kesehatan 2015 mencapai 1,5% dari total anggaran pendapatan dan belanja negara APBN. Namun 90% orang yang menginginkan akses pelayanan kesehatan jiwa tidak bisa mendapatkannya karena minimnya pelayanan.

Langkanya fasilitas dan pelayanan tambah Andreas seringkali membuat hak-hak dasar para penyandang disabilitas psikososial terabaikan dan sangat memicu kekerasan terhadap mereka.

Dari 34 provinsi di Indonesia, ada delapan daerah yang sama sekali tidak memiliki rumah sakit jiwa. Bahkan dari 48 rumah sakit jiwa di Indonesia, lebih dari separuhnya berada di pulau Jawa. Tenaga psikiater yang ada lanjutnya juga masih sangat kurang.

Belum lagi stigma yang beredar luas dalam masyarakat, ujar Andreas. Ia menambahkan, "Media maupun pemerintah perlu mendidik masyarakat luas, kalau di negara-negara yang sudah menjalankan program baik untuk penderita disabilitas psikososial, pemerintah buat iklan layanan masyarakat jadi dididik bahwa ini disabiliatas cukup diberi obat, perawatan, dibantu keluarga yang memiliki anggota keluarga yang begitu karena finansial berat."

Kementerian Kesehatan mengakui praktik pasung adalah perawatan tidak manusiawi dan diksriminatif. Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan, Untung Suseno Sutarjo juga mengakui bahwa masyarakat masih memberikan stigma negatif kepada para penyandang disabilitas psikososial, sehingga memilih untuk melakukan pemasungan dibanding membawanya ke rumah sakit.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia telah meluncurkan sebuah aplikasi bernama “Sehat Jiwa”, yang dapat digunakan masyarakat untuk memperoleh informasi tentang gangguan kejiwaan, termasuk mengukur tingkat gangguan kejiwaan mereka.

"Aplikasinya itu memberikan gambaran tentang gejala-gejalanya seperti apa dan kemudian fasilitas kesehatan yang ada di daerah seperti apa. Jadi tidak bingung dia kalau lagi stress harus kemana," demikian ujar Untung Suseno Sutarjo. [fw/em]