Penyandang Disabilitas Pertanyakan Komitmen Pemerintahan Jokowi

  • Nurhadi Sucahyo

Penyandang Disabilitas di Yogyakarta menyuarakan aspirasi terkait tindak lanjut UU 8 Th 2016 (VOA/Nurhadi Sucahyo)

Keputusan pemerintah untuk menjabarkan Undang-Undang No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dalam satu Peraturan Pemerintah (PP) saja dianggap sebagai langkah yang keliru. Presiden Jokowi bahkan dinilai melanggar janjinya sendiri.

Penyandang disabilitas di Indonesia menyambut baik, ketika pemerintah dan DPR mengesahkan UU No 8 tahun 2016. Perjuangan melahirkan UU Penyandang Disabilitas itu tidak mudah dan membutuhkan energi besar. Sesuai mandat aturan, harus segera disusun Peraturan Pemerintah maksimal 2 tahun setelah undang-undang itu disahkan. Penyandang disabilitas merekomendasikan, setidaknya pemerintah harus membuat 15 PP, agar kepentingan kaum difabel terakomodasi sepenuhnya. Namun kini, pemerintah memutuskan hanya akan membuat satu PP saja.

Penyandang disabilitas yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Tolak PP Sapu Jagat menyuarakan penolakan mereka di Yogyakarta, Kamis 10 Agustus 2017. Istilah sapu jagat dipakai sebagai penggambaran, bahwa satu PP ini dibuat pemerintah untuk menyelesaikan seluruh aspek persoalan yang ada. Koalisi menganggap langkah ini keliru. Apalagi, pemerintah menetapkan Kementerian Sosial yang akan menjadi pelaksana PP tersebut, yang seolah menempatkan persoalan disabilitas sebagai isu belas kasih. Presti Murni Setiati, yang berbicara mewakili rekan-rekannya dari koalisi ini menyatakan, pemerintah masih terikat dengan pola pada masa lalu, dan melanjutkan sikap yang cenderung tidak peduli.

Your browser doesn’t support HTML5

Penyandang Disabilitas Pertanyakan Komitmen Pemerintahan Jokowi

“Masalah difabel ini adalah masalah pemenuhan hak asasi manusia. Bukan hanya sekadar menggugurkan kewajiban, soal charity atau belas kasihan saja. Kesadaran pemerintah memang belum cukup tinggi, dan untuk itulah masyarakat difabel pun telah menjalin hubungan dengan kementerian lain, tetapi di sisi yang lain selama ini alur pemerintah memang seperti itu. Masalah difabel hanya dianggap sebagai masalah Kementerian Sosial,” ujar Presti Murni Setiati.

Penyandang Disabilitas di Yogyakarta menyuarakan aspirasi terkait tindak lanjut UU 8 Th 2016 (VOA/Nurhadi Sucahyo)

Jokowi dinilai melanggar janjinya sendiri semasa kampanye, yang tertuang dalam Piagam Soeharso. Dalam piagam ini, secara tertulis Jokowi berjanji bahwa pemerintahannya akan dibangun dengan persepsi bahwa penyandang disabilitas adalah aset negara, bukan beban. Prinsip ini akan diberlakukan dalam pengambilan kebijakan politik regulasi maupun kebijakan politik anggaran.

Keputusan untuk membuat hanya satu PP itu sama sekali tidak menggambarkan pelaksanaan Piagam Soeharso. Aria Indrawati, dari Kelompok Kerja Implementasi UU Penyandang Disabilitas ketika dihubungi VOA menyatakan, pemerintah tidak secara resmi melibatkan kelompok pendukung difabel dalam pembahasan regulasi selama ini. Aria mengaku beberapa kali mengikuti pertemuan di Bappenas menyangkut rencana pembuatan PP sebagai penjabaran undang-undang. Menurut Aria, keputusan hanya membuat 1 PP antara lain adalah ketiadaan komitmen dan faktor anggaran.

“Ini sebagai bagian dari proses edukasi untuk pemerintah, kementerian dan lembaga yang selama ini menganggap isu disabilitas sebagai isu dibawah Kementerian Sosial saja. Sementara UU Penyandang Disabilitas itu multisektoral. Dari 15 kemudian diperas dari 7, dari 7 ini kami dengar tidak ada kementerian yang menganggarkan pembuatan PP. Kami tidak tahu bagaimana prosesnya, pemerintah kemudian menginiasi PP-nya menjadi satu saja. Nah, itu yang kami menolak keras. Karena itu berarti melanggar mandat undang-undang,” ujar Aria Indrawati.

Aria menambahkan, kini semua tergantung niat baik pemerintah, termasuk komitmen Presiden Jokowi melaksanakan janjinya. Masih ada waktu untuk memenuhi aspirasi penyandang disabilitas, dengan membuat setidaknya 15 PP. Persoalan yang dihadapi penyandang disabilitas bukan hanya masalah rehabilitasi yang menjadi area Kementerian Sosial. Seperti juga warga negara lain, penyandang disabilitas juga memiliki persoalan di bidang ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya, yang masing-masing kementerian akan memerlukan PP sebagai panduan membuat program.

“Karena PP itu harus mendetailkan semua perintah umum yang ada di undang-undang, semua detailnya di dalam PP. Nah, kalau 15 sektor itu kemudian ditempatkan di satu PP betapa panjangnya PP itu. Yang membuat draft UU Penyandang Disabilitas itu kan kami, masyarakat. Kami menyusun 265 pasal dengan harapan tidak perlu PP sudah bisa diimplementasikan, tetapi oleh pemerintah dan DPR dikurangi hanya menjadi 153 pasal. Katanya nanti yang detail-detail akan di PP saja. Sekarang sudah ada mandat membuat 15 PP, hanya akan dibuat satu PP semua diringkas. Tidak mungkin bisa detail. Itu nanti tidak akan mengatur apa-apa,” pungkas Aria Indrawati.

Indonesia sudah meratifikasi Konvensi untuk Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) yang disahkan oleh PBB. Konvensi ini melahirkan UU No. 19 tahun 2011 yang mengimplementasikan disabilitas sebagai isu multisektor dalam pemerintahan. Keputusan mengeluarkan hanya satu PP dalam isu ini, dinilai sama sekali bertentangan dengan semangat dalam konvensi yang sudah diratifikasi itu. [ns/uh]