Perempuan Afghanistan Harap Pemerintahan Baru Bawa Kesejahteraan

Para perempuan Afghanistan mengantre di tempat pemungutan suara di Kabul, April 2014.

Konstitusi Afghanistan menjamin hak perempuan untuk berpendidikan dan bekerja, namun kemajuan dalam bidang-bidang tersebut berarti menantang masyarakat konservatif.

Presiden baru Afghanistan Ashraf Ghani memberi sinyal hari baru bagi perempuan-perempuan di Afghanistan dalam pidato pelantikannya dengan ucapan terima kasih sederhana namun emosional bagi istrinya atas dukungannya, dan janji bahwa ia akan berpengaruh dalam kepresidenannya.

Pengakuan publik Ghani atas istrinya Rula mengirimkan pesan positif pada perempuan-perempuan Afghan namun membuat yang lainnya di negara itu tidak nyaman.

Isu-isu terpenting yang dihadapi para perempuan Afghan hari ini adalah keamanan, kesehatan dan pendidikan, pemberdayaan sosial dan ekonomi.

Meski konstitusi negara menjamin hak perempuan untuk berpendidikan dan bekerja, membuat kemajuan dalam bidang-bidang ini berarti melakukan konfrontasi dan menantang masyarakat dan keluarga Afghanistan yang masih konservatif.

Jika pemberdayaan merupakan kombinasi dari hak yang diberikan dan partisipasi aktif, salah satu wilayah keberhasilan besar dari perempuan adalah pendidikan. Lebih banyak perempuan kuliah dan lulus dari Kabul University, sementara anak-anak perempuan Afghanistan dididik di seluruh negeri.

Dengan hak memilih yang dijamin konstitusi, perempuan Afghan juga aktif dalam politik, mencatat rekor dalam jumlah sebagai pemilih, aktivis dan politisi.

Meski demikian, perempuan Afghan menghadapi perjuangan konsisten melawan sikap konservatif di negara itu.

Afghanistan secara historis merupakan bangsa dengan nilai kesukuan tradisional dan kemunculan Islam pada abad delapan memperkenalkan keyakinan dan adat yang lebih konservatif lagi.

‘Perempuan, emas, tanah’

Ada pepatah di Afghanistan, “zan, zar, zamin,” yang artinya "perempuan, emas, tanah." Itu adalah seruan dari mereka yang menentang reformasi pemerintah, yang pada dasarnya berarti: "Jangan ganggu perempuan saya, uang saya dan tanah saya."

Presiden baru Afghanistan Ashraf Ghani bersama para perempuan pendukungnya.

Sejarah modern Afghanistan berisi para penguasa yang mendorong reformasi dan ditolak oleh penduduk yang lebih konservatif.

Monarki dan elit yang berkuasa di Kabul seringkali lebih maju dibandingkan para warga dalam hal ide-ide progresif dan reformasi. Pada abad 19 dan 20, penguasa-penguasa Afghanistan secara konsisten berupaya mengurangi pembatasan-pembatasan yang dihadapi perempuan di negara itu. Sebagian besar langkah-langkah itu tidak populer dan berhasil. Namun sejumlah perubahan signifikan dibuat dalam periode tersebut.

Dianggap sebagai penguasa modern pertama Afghanistan, Amir Abdur Rahman Khan (1880-1901) disebut "Amir Besi" karena metodenya yang tanpa ampun dalam mengkonsolidasikan suku-suku dan kelompok yang bermusuhan menjadi apa yang sekarang dikenal sebagai Afghanistan. Namun ia cukup progresif di masanya dalam hal hak perempuan.

Abdur Rahman menghapus tradisi memaksa perempuan menikahi saudara laki-laki almarhum suaminya dan meningkatkan usia minimum menikah. Ia memberikan perempuan hak untuk bercerai dalam kasus kekejaman dan tidak adanya dukungan finansial, serta hak untuk mewarisi properti dari ayah dan suami.

Pada bukunya yang terbit pada 1986, "Perempuan-perempuan Afghanistan", Nancy Hatch Dupree menulis bahwa istri Abdur Rahman memiliki pengaruh atasnya, dan ia merupakan "ratu Afghanistan pertama yang tampil di depan umum dengan gaun bergaya Eropa tanpa kerudung."

Raja Amanullah Khan (1919-29), dalam upaya untuk memodernisasi negara, mendorong konstitusi pertama Afghanistan dan juga melembagakan kebebasan lebih besar untuk perempuan. Ia tidak mendorong poligami, membangun sekolah untuk anak-anak perempuan, dan menantang tradisi perempuan menggunakan kerudung.

Istrinya, Ratu Soraya, terkenal tidak memakai kerudung dalam upacara-upacara publik. Reformasi raja menghadapi oposisi dengan kekerasan dan akhirnya ia dipaksa untuk turun tahta.

Penggantinya, Nadir Shah (1929-33) tunduk pada tuntutan para pemimpin suku dan membatalkan banyak agenda reformasi yang diberlakukan Raja Amanullah. Ia juga melarang Jarideh Zanan, satu-satunya surat kabar saat itu yang diterbitkan para perempuan Afghanistan.

Kemajuan lambat

Selama kekuasaan Raja Zahir Shah yang relatif lama (1933-73), perempuan-perempuan Afghan berangsur-angsur membuat kemajuan, meski berhati-hati untuk tidak bergerak terlalu cepat untuk mempertahankan hubungan baik dengan suku-suku.

Polisi perempuan Afghanistan saling berbagi canda.

Pada 1941, sekolah menengah pertama untuk perempuan dibangun di Kabul. Pada era 1940an dan 1950an, para perempuan mulai memasuki angkatan kerja dan dapat menjadi guru, perawat dan dokter.

Dengan upaya-upaya reformasi dari sepupu Raja Shah dan Perdana Menteri, Daoud Khan, perempuan diizinkan tidak memakai kerudung. Pada 1959, istri-istri keluarga penguasa dan pejabat pemerintah senior tampil dengan rambutnya di acara-acara publik. Perempuan-perempuan lain kemudian segera mengikuti. Sementara Kabul tetap tenang dalam perubahan ini, Kandahar bergejolak. Revolusi, yang pada akhirnya ditekan pemerintah, menewaskan 60 orang.

Pada 1964, konstitusi Afghanistan memberikan perempuan hak untuk memberikan suara dan memasuki politik. Meski ada kemajuan besar bagi perempuan, hal itu terbatas pada perempuan yang tinggal di Kabul dan kota-kota besar lainnya. Sebagian besar daerah pedesaan masih tetap sangat konservatif, dan perempuan terus terikat aturan-aturan tradisional dan agama.

Sejak akhir monarki di Afghanistan, langkah-langkah terkait peran perempuan dalam masyarakat Afghanistan telah berpindah antara langkah liberal agresif dan reaksioner opresif.

Saat tergelincir ke arah ideologi Komunis, Partai Demokrasi Rakyat Afghanistan (PDPA) berkuasa pada 1978, didukung oleh Uni Soviet. PDPA memberlakukan reformasi sosial yang masif, termasuk wajib belajar untuk anak perempuan, penghapusan mahar perkawinan, dan usia legal minimum untuk perkawinan bagi perempuan dinaikkan menjadi 16 tahun.

Perlawanan terhadap reformasi-reformasi ini di wilayah pedesaan sangat intens, dan akhirnya membentuk resistensi Mujahidin terhadap pemerintah pusat yang didukung Soviet.

Setelah 14 tahun berperang, Mujahidin mengambil alih Kabul pada 1993. Afghanistan berubah dari pemerintahan Komunis menjadi negara Islam.

Perang saudara selama empat tahun sesudahnya dapat dikatakan merupakan waktu paling brutal dalam sejarah modern Afghanistan. Kabul dihancurkan dan rakyat, termasuk perempuan, menderita kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang keji. Pemerkosaan, penyiksaan dan pembunuhan adalah hal yang biasa terjadi. Namun perempuan masih diizinkan bekerja dan bersekolah.

Taliban naik kek keuasaan sebagai jalan keluar kekacauan dan kekerasan dalam perang saudara. Mereka menjanjikan keamanan dan pengembalian ke nilai-nilai tradisional. Namun setelah mengambil alih Kabul pada 1996, mereka kemudian memberikan batasan keras pada semua warga Afghan.

Perempuan yang telah melihat kemajuan mengalami kemunduran. Mereka dilarang bekerja, pergi ke sekolah atau meninggalkan rumah kecuali ditemani pria. Mereka tidak dapat dirawat oleh dokter laki-laki dan harus menutup tubuh dari kepala hingga ujung kaki.

Para anggota Kementerian Kebajikan dan Kebatilan, yang didirikan di bawah Taliban, akan mengukur panjang janggut pria dan mengawasi perempuan, apakah sepatunya terlalu bersuara ketika berjalan. Meski perempuan memang tidak lagi diperkosa, disiksa dan dibunuh oleh faksi-faksi yang berperang, mereka menjadi tahanan di rumah atau di bawah pakaian yang menutupi kepala sampai kaki.

Kemajuan besar

Pekerja perempuan di pabrik kismis Hajii Sher Mohamad dekat Kandahar, Afghanistan.

Melihat sejarah, kemajuan besar terjadi dalam 13 tahun terakhir di bawah pemerintahan mantan Presiden Hamid Karzai terkait pemberdayaan perempuan. Perempuan memiliki hak konstitusional untuk bekerja, berpendidikan, memberikan suara dan menjabat kantor publik. Memakai kerudung atau tidak merupakan pilihan.

Baik Presiden Ghani dan mantan pesaing yang sekarang menjadi kepala eksekutif, Abdullah Abdullah, membuat janji-janji kampanye kuat untuk menegakkan dan melindungi hak-hak konstitusi perempuan untuk maju.

Namun sejarah menunjukkan bahwa kemajuan apa pun dalam pemberdayaan perempuan Afghan haruslah berangsur-angsur dan bersifat partisipatif. Banyak penguasa yang telah mencoba mendorong pedesaan ke dalam reformasi, namun tidak pernah berhasil.

Implementasi agenda reformasi secara penuh membutuhkan waktu dan pendidikan. Perempuan di daerah-daerah pedesaan yang dilayani dan dilindungi oleh langkah-langkah ini, yang mendapat manfaat terbesar, harus memahami dan mendukung langkah-langkah reformasi tersebut dan berpartisipasi secara aktif.

Perubahan sosial di Barat, apakah itu hak perempuan, hak-hak sipil, atau kesetaraan perkawinan, tidak terjadi dari atas ke bawah lewat paksaan penguasa yang melembagakan reformasi.