Perempuan dan Balita Menderita di Pengungsian

  • Nurhadi Sucahyo

Syafa Illiyin, relawan yang memberi perhatian lebih kepada pengungsi perempuan dan anak. (Foto courtesy: Syafa Illiyin/dok)

Perempuan dan anak-anak yang menjadi korban gempa Lombok membutuhkan perhatian lebih. Sayangnya, banyak kebutuhan mereka yang terabaikan hingga saat ini. Berikut laporan selengkapnya.

Abdul, bayi berumur tiga tahun, terlelap di bawah tenda yang terbuat dari terpal. Posisinya hanya tiga meter dari jalan besar, namun suara bising kendaraan lewat tidak mengganggunya. Mungkin ia kelelahan dan kurang tidur di malam hari, karena harus tinggal di luar rumah yang dingin. “Itu Abdul. Ibunya tidak bisa bicara,” kata beberapa anak yang duduk di sebelahnya.

Abdul adalah satu dari lebih 1.400 pengungsi di Kampung Mentigi, Desa Malaka, Lombok Utara. Sejak Minggu (5/8) malam, mereka telah mengungsi di lapangan tidak jauh dari pantai. Siang begitu panas menerpa, jika malam angin dingin berhembus dari laut.

Dalam dua sampai tiga hari pertama, warga masih cukup mampu menerima terpaan cuaca yang kurang bersahabat. Namun semakin lama, daya tahan mereka turun. “Sekarang sudah banyak yang mengeluh sakit, macam-macamlah sakitnya. Untung ada dokter yang kadang datang,” kata Haji Mustahik, tokoh masyarakat Mentigi yang turut mengungsi.

Proses pembangunan Buruga, pondok khusus bagi perempuan dan anak oleh Forsil Lippo Cikarang di Mentigi, Lombok Utara. (Foto courtesy: Irvan Ramli)

Sebuah dapur umum telah didirikan. Empat relawan dari Forum Silaturahmi (Forsil) Muslim Lippo Cikarang, Jawa Barat, datang langsung ke Lombok sebagai penggerak utama pusat pengungsian ini. Dengan bantuan sejumlah relawan dari Bali dan Lombok, mereka mencoba memenuhi semua kebutuhan pengungsi.

Namun, tetap saja ada yang kurang. Istri Mustahik saat ini sedang hamil tua, dan tinggal di tenda sama sekali tidak nyaman untuknya. “Yang saya butuhkan itu rumah, istri saya hamil besar, nggak nyaman tidur rasanya di sini. Ada teman bisa buat rumah darurat harganya 20 juta, nggak papa lah, saya ingin buat, jadinya hanya dua minggu. Istri saya kalau tidur sini kalau malam kena angin, melihat ada yang sakit, ada anak merintih, itu membuat istri saya tak bisa tidur. Ini juga darurat, dengan suasana seperti ini, sedang hamil besar, merintih terus,” jelas Mustahik.

Di banyak lokasi pengungsian, bantuan yang disediakan memang belum memperhatikan kebutuhan khusus bagi perempuan dan anak-anak. Paket bantuan khusus perempuan, misalnya yang dilengkapi pembalut dan pakaian dalam belum banyak tersedia. Begitu pula makanan dan susu bayi.

Kebanyakan anak-anak juga menikmati makanan yang sama dengan orang tua mereka, dan menu keseharian didominasi oleh mi instan. Mereka juga tinggal menyatu di tenda-tenda darurat.

Untuk memenuhi kebutuhan perempuan hamil dan balita, Forsil Lippo Cikarang saat ini sedang membangun rumah kayu berukuran 7 x 4 meter. Menurut Irvan Ramli, salah satu relawan dari komunitas ini, pondok dibuat dengan ide dasar dari model rumah tradisional Lombok, Buruga. Irvan Ramli bekerja sebagai kontraktor di Cikarang, dan cukup memahami kontruksi bangunan.

Irvan mengaku pada hari-hari pertama bencana, konsentrasi memang masih pada kebutuhan paling mendasar, yaitu makanan pokok, air, dan tempat berteduh. Karena itu, kebutuhan bagi perempuan dan anak belum memperoleh perhatian khusus. Baru setelah beberapa hari, dan keluhan mulai muncul seperti yang disampaikan Mustahik, ide membangun ruang khusus perempuan dan anak itu lahir. Bahan baku pembuatannya, kata Irvan, setidaknya menghabiskan dana Rp 9 juta rupiah.

“Hari Selasa ini progresnya sudah 35 persen. Kita buat ini dengan konstruksi kayu, atapnya ilalang, dinding gedek bambu, dengan lantai papan dan sambungan memakai baut. Pondasinya kita buat dengan beton. Ini meniru bentuk rumah tradisional Buruga, dan karena itu insya Allah tahan gempa,” ujar Irvan.

Pondok kayu ini dibuat di pusat pengungsian Kampung Mentigi, Lombok Utara. Inisiatifnya datang melihat kondisi pengungsian yang sama sekali tidak ideal bagi perempuan hamil dan anak-anak.

Syafa Illiyin, relawan dari Gerakan Rakyat Peduli Bencana mengakui, bantuan khusus untuk perempuan dan anak sempat terlewatkan. Di hari-hari pertama bencana, belum tersedia paket bantuan khusus bagi dua kelompok pengungsi ini. “Banyak balita yang demam karena harus tinggal di luar ruangan, tetapi obat sangat minim tersedia. Juga susu, karena ibu menyusui yang masih stres tidak mampu memberikan susu kepada bayinya,” kata Syafa.

Ada dua penyebab, menurut Syafa yang menciptakan kondisi ini. Pertama adalah kondisi geografis yang membuat pengungsian tersebar di banyak sekali titik. Kondisi ini sangat menyulitkan, tidak hanya bagi organisasi relawan tetapi juga pemerintah dalam mengirim bantuan. Yang kedua, kata Syafa, memang ada kecenderungan kerja pemerintah yang lamban dalam memenuhi kebutuhan pengungsi.

Syafa menyayangkan, meski Indonesia telah berkali-kali mengalami bencana alam besar, langkah tanggap darurat masih belum memberikan posisi khusus bagi perempuan dan anak. Terbukti, masih sangat minim bantuan berupa makanan bayi, susu, diaper, selimut serta penyediaan tempat yang aman bagi keduanya.

Your browser doesn’t support HTML5

Perempuan dan Balita Menderita di Pengungsian

“Kami memang fokus pada kebutuhan perempuan dan anak. Karena itu kami membawa selimut, diaper, pembalut untuk perempuan, pakaian dalam untuk perempuan dan anak-anak. Kami juga memberi makan bayi, tetapi ada juga yang menolak karena khawatir jika susu bantuan sudah habis, mereka tidak bisa membelinya lagi. Ini memang alasan logis, karena persediaan bantuan hanya cukup untuk beberapa hari,” kata Syafa Illiyin.

BNPB mengaku belum memiliki data tepat jumlah pengungsi anak-anak di Lombok. Namun setidaknya, ada lebih dari 387 ribu pengungsi dan puluhan ribu anak-anak. "Data sementara di Kabupaten Lombok Utara ada 1.991 balita berusia nol sampai lima tahun dan 2.641 anak-anak berusia 6 sampai 11 tahun," kata juru bicara BNPB, Sutopo Purwo Nugroho dalam keterangan resminya.

Dia juga menjelaskan, bayi dan anak-anak masuk dalam kelompok rentan bersama dengan ibu hamil, lansia, dan disabilitas. Kelompok ini harus memperoleh perlakuan khusus. [ns/uh]