Kasus kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah penting yang membutuhkan perhatian serius, terutama kasus kekerasan terhadap perempuan dengan HIV dan AIDS.
Perempuan yang posisinya rentan akibat budaya patriarki di Indonesia mengalami kerentanan yang berganda, apalagi jika ia memiliki status positif HIV/AIDS. Bukan hanya itu, stigmatisasi dan tindakan diskriminasi juga kerap menimpa mereka.
Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) bersama dengan PPH Atmajaya ditahun 2016 mencatat bahwa prevalensi kekerasan yang dialami oleh perempuan dengan HIV/AIDS lebih tinggi daripada perempuan pada umumnya.
Saat didiagnosis HIV, perempuan lebih banyak mengalami kekerasan dari pasangan dan juga pihak lain. Kekerasan yang dialami oleh perempuan dengan HIV/AIDS sangat beragam buka hanya kekerasan fisik, seksual, psikis, ekonomi tetapi juga dan dalam berbagai bentuk .
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta APIK, Siti Mazuma, Selasa (26/3) mengatakan lembaganya telah menerima beberapa kasus perempuan dengan HIV/AIDS. Mereka tidak hanya terdiskriminasi karena jenis perempuannya tetapi juga terdiskriminasi sebagai perempuan HIV/AIDS padahal kebanyakan dari mereka tertular oleh suaminya.
“Berawal dari kasus kekerasan terhadap rumah tangga yang kemudian berdampak pada HIV si istri kemudian dia diceritakan oleh suaminya sehingga dia tidak mendapatkan hak-haknya sebagai seorang perempuan ketika diceraikan oleh suaminya. Kita juga melihat bagaimana susahnya dia ketika mengakses anaknya karena anaknya itu diambil oleh pihak suaminya,” cerita Siti Mazuma kepada VOA.
Menurut Siti Mazuma, mereka juga rentan mendapatkan tindakan diskriminasi bukan hanya dari masyarakat tetapi juga oleh petugas kesehatan. Diskriminasi secara struktural tambahnya juga secara umum dialami oleh penderita HIV dan AIDS dalam memperoleh jaminan seperti JKN yang belum sepenuhnya memberikan jaminan kepada para penderita AIDS dan hanya mencakup jenis obat tertentu.
Bukan hanya itu, tambah Mazuma, layanan HIV ataupun akses kesehatan terhadap perempuan dengan HIV/AIDS masih kurang. Keinginan kebanyakan perempuan HIV/AIDS statusnya disembunyikan ketika mengakses layanan kesehatan tetapi yang terjadi di sejumlah tempat justru malah sebaliknya.
Your browser doesn’t support HTML5
Siti Mazuma juga menyayangkan adanya peraturan daerah (perda) seperti di Bali yang akan memenjarakan penderita HIV/AIDS selama 6 bulan atau denda 50 juta rupiah jika tidak mau mengakses obat.Hal itu lanjutnya tidak akan mengurangi jumlah penderita HIV tetapi justru membuat orang takut untuk melakukan pemeriksaan.
Mazuma mendesak pemerintah memperhatikan persoalan yang dialami para perempuan HIV/AIDS termasuk perlindungan terhadap mereka.
Mantan Sekretaris Nasional Komisi Penanggulangan AIDS yang juga Mantan Menteri Kesehatan Andi Nafsiah Walinono Mboi mengatakan banyak masyarakat yang tidak mengetahui bahwa HIV/AIDS itu merupakan penyakit yang sama dengan penyakit lain , penyakit kronis yang bisa dicegah dan bisa diobati.Masyarakat tambahnya perlu diberikan informasi yang benar mengenai penyakit ini.
“Dengan demikian tidak perlu ada diskriminasi. Diskriminasi adalah pelanggaran hak asasi manusia, kalau kita meminta, menuntut agar hak kita dihormati maka kita wajib menghormati hak orang lain. Jadi menurut saya itu yang perlu disampaikan ke semua orang mungkin orang tidak sadar.Interpretasi agama, moralisme dan sebagainya. Dan ada orang yang menganggap dirinya lebih baik dari orang lain,” ujar Nafsiah.
Nafsiah menambahkan sebenarnya telah ada aturan yang dikeluarkan pemerintah terkait perlindungan terhadap penderita HIV/AIDS tetapi sayangnya tidak dijalankan . Padahal berdasarkan Undang-undang kesehatan, setiap orang berhak sehat dan mendapat pelayanan untuk tetap sehat secara fisik, mental maupun sosial.
Ketua Kelompok Kerja Perempuan dan Anak Mahkamah Agung Diah Sulastri Dewi menjelaskan para hakim dan juga aparat hukum lainnya dalam mengadili perempuan yang berhadapan dengan hukum harus berpedoman kepada Peraturan Mahkamah Agung nomor 3 tahun 2017.
Menurutnya perlindungan terhadap warga negara dari segala tindakan diskriminasi merupakan implementasi dari hak konstitusional. Semua orang adalah sama di hadapan hukum dan peraturan perundang-undangan melarang diskriminasi serta menjamin perlindungan yang setara bagi semua orang dari diskriminasi berdasarkan alasan apapun, termasuk jenis kelamin atau gender. Kewajiban negara untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses terhadap keadilan dan bebas dari diskriminasi dalam sistem peradilan.
“Perma itu mengadop dari Cedaw dan ICCPR isinya, substansinya sehingga hak-hak yang ada di dalam, azas-azas yang ada di diatur di dalam Perma itu sebetulnya selain mengikat kami sebagai para hakim juga kepada aparat penegak hukum lainnya namun secara tersendiri bisa dilaporkan jika ada penyimpangan-penyimpang,” kata Dewi.
Data dari laporan perkembangan HIV-AIDS dan PIMS di Indonesia bulan Juli-September 2018 (Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan) mencatat jumlah kasus HIV sebanyak 314.143 dan AIDS sebanyak 111.973 di mana 33 persen di antaranya adalah perempuan. (fw/em)