Perempuan berada dalam krisis, ketika sebuah kemelut terjadi. Selama pandemi misalnya, perempuan menanggung dampak lebih, seperti lebih banyak pekerja perempuan terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga yang meningkat, hingga korban praktik pernikahan anak. Begitupun ketika bencana akibat perubahan iklim terjadi, korban perempuan hampir selalu lebih banyak dari laki-laki.
Pakar ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada, Poppy Ismalina Ph D menyebut data mengonfirmasi bahwa perempuan berperan besar dalam perekonomian. Karena itu, seharusnya perempuan menjadi faktor penting dalam penyusunan dan penerapan kebijakan, terkait krisis yang terjadi.
“Perempuan adalah back bone dari perekonomian Indonesia. Maka ketika perempuan adalah kelompok yang paling terdampak, kelompok yang paling menderita atas krisis global ataupun perubahan iklim, ini harus mendapatkan perhatian khusus,” ujar Poppy dalam diskusi yang diselenggarakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Jumat (16/12).
Posisi perempuan sebagai tulang punggung ekonomi Indonesia, dikonfirmasi oleh data. Dipaparkan Poppy, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) adalah penyokong utama perekonomian Indonesia dengan peran sebesar 99,99 persen, sementara usaha besar hanya berperan 0,01. Kontribusinya UMKM bagi Product Domestic Bruto mencapai 60,5 persen, dan menjadi sektor utama penyerapan tenaga kerja. Sebanyak 60 persen UMKM dikelola oleh perempuan, kata Poppy.
“Bisa kita katakan, tulang punggung perekonomian Indonesia adalah perempuan, dan ini cukup signifikan dalam menghidupkan masyarakat Indonesia. Karena kita tahu, produk yang dihasilkan oleh usaha mikro kecil itu adalah produk dengan harga terjangkau, yang 80 persen orientasinya adalah domestik,” tambahnya.
Artinya, produk-produk yang dihasilkan perempuan sebenarnya menjadi sumber memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia, terutama yang berada di garis kemiskinan. Perempuanlah yang dengan usahanya memberi lapangan pekerjaan, menyumbang pertumbuhan ekonomi, dan memenuhi kebutuhan masyarakat.
Penelitian yang dilakukan Poppy menunjukkan, ada indikasi kuat, perempuan terdampak cukup tinggi oleh krisis ekonomi dan perubahan iklim.
“Tetapi kemudian, perempuan memiliki mekanisme kebertahanan hidup yang cukup kuat,” tandasnya.
Kondisi ini, tidak bisa diabaikan oleh pemerintah. Ke depan, harus ada upaya mengidentifikasi dampak dan resiko dari krisis dan perubahan iklim yang dihadapi kelompok yang paling rentan, termasuk perempuan. Perempuan juga harus dilibatkan dalam desain implementasi dan pengukuran strategi. Kebijakan nasional yang responsif gender dan perubahan gender harus dimiliki. Serta koordinasi kuat antara kelompok kerja perubahan iklim dan kelompok kerja gender dalam setiap kementerian untuk mempercepat dampak kebijakan tersebut.
BACA JUGA: Menyoal KUHP Baru dan Aborsi bagi Perempuan Korban Kekerasan Seksual
Bukan Persoalan Mudah
Namun, rekomendasi dari Poppy di atas bukan sesuatu yang mudah diterapkan. Dalam praktik di lapangan, seperti dipaparkan Noer Fauzi Rachman PhD dari Universitas Padjajaran, Bandung, perempuan selalu kesulitan untuk berperan, karena memang tidak diberi kesempatan.
Pada skala desa misalnya, perempuan tidak cukup mampu menyuarakan kepentingannya, sehingga penggunaan Dana Desa yang besar pun tidak memenuhi kebutuhan mereka.
“Kita menghadapi kesulitan, karena Dana Desa ini tidak senantiasa dipakai dengan perencanaan yang memadai, di mana partisipasi yang berarti dari kaum perempuan itu ikut serta di dalamnya,” kata Noer Fauzi.
Kondisi itu bisa dilihat dari bagaimana alokasi anggaran diterapkan di tingkat desa. Dana itu lebih banyak dipakai untuk proyek-proyek infrastruktur skala desa, seperti pembangunan jalan atau balai desa. Sangat kecil anggaran yang khusus diberikan untuk program-program yang terkait perempuan, sehingga pemerintah merasa perlu mengeluarkan arahan khusus terkait hal ini.
“Umpamanya penanganan stunting. Itu urusannya sama status gizi ibu hamil dan satus gizi perempuan sebelum dia hamil. Masalah itu tidak pula ditangani dengan pencegahan secara cukup memadai,” lanjut Noer Rachman.
Masalah lain yang juga tidak disentuh oleh dana desa adalah pencegahan perkawian anak. Padahal, untuk menyelesaikan persoalan stunting, salah satu yang harus ditanggulangi adalah kasus pernikahan anak, sebagai pintu gerbang munculnya kasus stunting.
Ketiadaan program-program di desa yang dibiayai Dana Desa untuk kepentingan perempuan ini, menunjukkan bagaimana minimnya peran perempuan dalam pengambilan keputusan di tingkat desa.
Untuk bisa menghadirkan peran perempuan, setidaknya ada tiga prakondisi yang harus diatasi. Pertama adalah ketergantungan budaya, ekonomi, sosial, pendidikan dan ketidaksetaraan kaum perempuan. Kedua, kata Noer Rachman, menghapus norma-norma yang secara sistemik menurunkan derajat perempuan.
BACA JUGA: Hari AIDS Sedunia: Sosok “Ibu” Pendamping Puluhan Anak HIV/AIDS“Saya kebetulannya adalah Dewan Pembina Yayasan Perempuan Kepala Keluarga, dan ini berjuang untuk memperoleh satu status bagi keluarga-keluarga yang dipimpin oleh perempuan. Tidak disebut sebagai janda, tetapi disebut sebagai kepala keluarga perempuan atau perempuan kepala keluarga,” urai Noer Rachman.
Prakondisi ketiga yang harus diatasi untuk meningkatkan peran perempuan, adalah ketidakadilan yang dialami perempuan.
Bukan Hanya Tugas Perempuan
Suci Fitria Tanjung, Direktur Eksekutif Walhi Jakarta mengakui perempuan masih memiliki jarak pengetahuan terkait perubahan iklim, karena isu ini baru muncul pasca revolusi industri. Di sisi lain, kebijakan pembangunan juga mayoritas tidak memperhatikan kepentingan lingkungan hidup.
“Pada gilirannya, ini justru meminggirkan atau membuat pengetahuan perempuan menjadi tidak relevan. Karena perubahan iklim merupakan fenomena yang relatif baru, dan relevansi pengetahuan perempuan juga perlu di upgrade, agar tidak gagap dalam beradaptasim maupun berkontribusi di dalam mitigasi perubahan iklim,” ujar Fitri dalam diskusi yang sama.
Seperti juga Noer Rachman, Fitri menyatakan untuk mendekatkan perempuan dengan isu perubahan iklim yang juga merugikan mereka, diperlukan perubahan paradigma dan tindakan-tindakan integratif.
“Dengan melibatkan secara aktif perempuan, berbicara di ruang publik atau di ruang-ruang pengambilan keputusan,” ujarnya.
Program-program terkait mitigasi bencana akibat perubahan iklim sendiri, masih banyak yang tidak berperspektif gender. Misalnya, kata Fitri, dalam program pengelolaan sampah rumah tangga, tanggung jawab utama masih diserahkan kepada perempuan. Pola pikir yang muncul adalah, bahwa sampah adalah persoalan rumah tangga, dan karena itu menjadi tanggung jawab perempuan sepenuhnya.
“Ini perlu direduksi, agar tanggung jawab untuk mengurangi ataupun melakukan aksi-aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, itu bukan hanya menjadi pekerjaan perempuan,” tegasnya. [ns/ah]