Tanggal 29 Mei 2019 merupakan tahun ke -13 tragedi luapan lumpur Lapindo, yang menenggelamkan belasan desa di 3 kecamatan di Kabupaten Sidoarjo. Sejumlah warga penyintas lumpur Lapindo serta warga terdampak tidak langsung, mendesak pemerintah memulihkan kondisi lingkungan serta kesehatan warga yang masih tinggal di sekitar area tanggul lumpur.
Sekitar 30 orang warga penyintas lumpur Lapindo dari Kelompok Perempuan Ar-Rohma, Korban Lapindo Menggugat, Sanggar Alfaz, serta aktivis Walhi Jawa Timur, dan Jaringan Advokasi Tambang, melakukan aksi keprihatinan di depan Kantor Gubernur Jawa Timur, di Jalan Pahlawan, Surabaya, Rabu (29/5). Aksi ini selain untuk memperingati 13 Tahun tragedi luapan lumpur Lapindo, juga untuk menyuarakan kepada pemerintah bahwa persoalan lumpur Lapindo masih belum selesai secara tuntas.
Your browser doesn’t support HTML5
Khobir dari Korban Lapindo Menggugat menyuarakan penolakan warga atas rencana pengeboran atau penambangan migas di sekitar wilayah permukiman, yang izinnya telah dikeluarkan Gubernur Jawa Timur sebelumnya. Khobir mendesak Gubernur Jawa Timur saat ini, yaitu Khofifah Indar Parawansa untuk memperhatikan persoalan yang dihadapi warga di sekitar tanggul lumpur Lapindo.
“Yang paling utama itu adalah penolakan pengeboran dan pertambangan di wilayah permukiman. Negara wajib memperhatikan masalah-masalah korban yang ada di luar peta area terdampak, atau korban yang ada di luar tanggul,” jelasnya.
Selain itu, Khobir juga meminta kepedulian pemerintah daerah terhadap warganya, yang selama ini hidup dalam ancaman dan bahaya pencemaran lingkungan akibat lumpur Lapindo yang masih meluap hingga kini.
“Saya rasa sampai saat ini belum begitu diperhatikan secara total, bisa juga kita katakan masih belum, dengan bukti yang ada di luar tanggul itu, keadaan tanah dan air juga udara masih tetap, punya (dampak) pencemaran yang sangat luar biasa,” jelasnya.
Muawanah, warga penyintas lumpur Lapindo asal Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, yang saat ini desanya telah terkubur oleh lumpur panas, meminta adanya campur tangan pemerintah mengatasi masalah dampak lingkungan dan kesehatan yang dirasakan warga sehari-hari. Sedangkan, ganti rugi yang belum diterima sejumlah warga lain, diharapkan dapat dibantu penyelesaiannya oleh pemerintah.
“Kalau sekarang ini masih tetap, masih bau, juga airnya ya terganggu juga, gak layak dipakai. Kita ya sehari-harinya beli. Ya, nomor satu, yang belum dibayar minta diselesaikan. Yang nomor dua, bagaimana kita layaknya bisa (dapat) air bersih,” kata Muawanah.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur, Rere Christanto mengatakan, dampak serius pencemaran lingkungan akibat lumpur Lapindo selama 13 tahun ini belum mendapat perhatian serius dari pemerintah. Tidak hanya kerusakan lingkungan berupa turunnya kualitas tanah dan air, merosotnya kualitas kesehatan warga yang terpaksa harus hidup di luar peta area terdampak lumpur juga menjadi sorotan.
“Dorongan kita itu yang pasti satu, pemulihan lingkungan akibat semburan lumpur Sidoarjo, dan pemulihan kualitas hidup warga. Jadi akibat dari dampak kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh lumpur Lapindo, yang dampaknya kemudian semakin meluas dan masif, sekarang level kesehatan warga semakin lama semakin turun,” kata Rere Christanto.
Walhi Jawa Timur, kata Rere Christanto, mendesak pemerintah memberikan jaminan kesehatan menyeluruh kepada warga, khususnya di luar peta terdampak dan sekitar area tanggul lumpur Lapindo. Pemerintah didesak untuk melakukan pendataan administrasi kependudukan yang baik terhadap warga yang tinggal di sekitar tanggul lumpur, maupun penyintas lumpur Lapindo lainnya yang saat ini sulit untuk dideteksi tempat tinggal barunya.
“Situasi ini harus segera direspon oleh pemerintah, misalnya dengan memberikan jaminan kesehatan menyeluruh kepada warga. Selain kemudian situasi kesehatannya yang memburuk, ditambah juga dengan tidak adanya pendataan administrasi yang baik di Porong, sehingga sekarang tidak diketahui berapa sebetulnya jumlah korban lumpur Lapindo. Hal ini kemudian menghambat usaha untuk pemulihan, karena kita tidak tahu total jumlah korban lumpur Lapindo itu ada berapa, dan tersebar di mana saja,” jelas Rere Christanto. [pr/uh]