Dua spanduk besar bertuliskan ‘Apa Yang Terjadi Pada Tubuh Kami?’ dan ‘Dimana Tanggung Jawab Negara?’ membentang di atas tanggul lumpur Lapindo di titik 25 dekat pusat semburan lumpur.
Aktivis lingkungan dari Walhi Jawa Timur dan sejumlah warga penyintas lumpur Lapindo, menggelar aksi peringatan 12 Tahun Tragedi Lumpur Lapindo. Selain doa bersama, warga penyintas juga menunjukkan foto rontgen dan hasil pemeriksaan kesehatan, sebagai bukti adanya persoalan serius yang harus segera ditangani oleh pemerintah.
Penelitian yang dilakukan Walhi Jawa Timur pada 2008-2016 menyebutkan adanya kandungan logam berat dan PAH (polycyclic Aromatic Hydrocarbon) hingga 2.000 kali di atas ambang batas normal, di sekitar semburan lumpur Lapindo.
Menurut Program Lingkungan PBB (UNEP), PAH adalah senyawa organik berbahaya yang bersifat karsinogen, yang dapat memicu kanker. Logam berat juga mengkontaminasi sumur warga di desa-desa di Kecamatan Tanggulangin dan Desa Glagaharum di Kecamatan Porong.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur, Rere Christanto, mengatakan kandungan logam berat dan hidrokarbon yang sangat tinggi itu dapat dipastikan berbahaya bagi kesehatan manusia yang tinggal di sekitar tanggul lumpur Lapindo.
Menurut Rere, hasil pemeriksaan medi menunjukkan 80 persen warga mengalami abnormalitas kondisi tubuh, antara lain tekanan darah yang tinggi, level gula darah yang tinggi, maupun kekakuan pada jantung dan paru-paru.
“Nah, kalau kemudian dia disambungkan dengan level logam berat, dari tiga jenis yang kita temukan, dua logam berat dan satu hidrokarbon, timbal, cadmium dan PAH. Kalau kemudian dilihat memang memberikan dampak yang sejalan dengan apa yang dirasakan warga,” papar Rere.
“Cadmium dan timbal misalnya, dia mengganggu darah, ginjal dan jantung. Kalau cadmium dia mengganggu sampai ke level paru-paru. Nah, tiga jenis penyakit yang juga muncul di warga adalah tingginya gula darah, kemudian kesulitan bernapas, dan serangan jantung,” ujarnya.
Warga penyintas lumpur Lapindo, Rokhim, mengungkapkan saat masih tinggal di sekitar tanggul lumpur, dirinya bersama keluarga sering menghirup bau menyengat dan kurang sedap yang terbawa oleh angin. Bahkan saat sudah pindah agak jauh dari pusat semburan, bau tidak sedap masih sesekali tercium saat angin berhembus kencang.
“Teman-teman yang ada di wilayah sekitar ini, jadi mulai dari timur itu Desa Glagaharum, Sentul dan sekitarnya, ini setiap hari selalu menghirup udara yang tidak sehat, dan ini tidak ada penanganan yang, dari pemerintah tidak ada sama sekali,” kata Rokhim.
“Dulu saya selalu pusing-pusing, makanya saya pindah ini menghindari dari hal-hal soal udara yang tidak sehat. Kadang-kadang dua minggu itu mesti ada (bau), kalau udara ke Selatan itu mesti bau di sana.”
Kondisi lingkungan yang tercemar dapat mempengaruhi kesehatan warga. Berdasarkan pemeriksaan kesehatan yang telah dilakukan sebelumnya terhadap 20 orang penyintas secara acak, ditemukan 10 orang atau 50 persen mengalami kelainan pada pemeriksaan darah dan urin. Sedangkan 4 orang penyintas atau 20 persen mengalami kelainan pada pemeriksaan toraks.
Temuan ini menguatkan penelitian sebelumnya oleh Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Menular (BTKL PPM) pada 2010, yaitu 81 persen sampel warga di Desa Besuki, Glagaharum, Gempolsari, Kali Tengah, mengalami gangguan restriksi paru-paru.
Rokhim serta warga penyintas yang lain berharap pemerintah segera mengambil langkah penanganan dengan melakukan pemeriksaan kesehatan lengkap terhadap warga yang tinggal di sekeliling tanggul lumpur, yang tidak masuk dalam peta area terdampak yang dikeluarkan pemerintah.
“Mestinya bagaimana warga itu satu minggu sekali atau satu bulan sekali, itu bisa diperiksa, di check up, bagaimana kondisi kesehatan di sekitar asap semburan lumpur Lapindo. Warga itu tidak tahu di dalam tubuhnya itu seperti apa sekarang, dari sisi dia bernapas menghirup udara yang sehat itu tiap hari. Bayangkan kalau ini satu tahun, dua tahun, ini dua belas tahun. Itu belum ada penanganan sama sekali,” kata Rokhim.
Rere Christanto mendesak pemerintah melakukan kajian dan pemetaan tingkat kerawanan bencana, serta dampak pencemaran udara dan air dari semburan lumpur Lapindo yang telah menyembur selama 12 tahun. Jaminan kesehatan penuh harus diberikan negara kepada warga yang tidak terdampak langsung semburan lumpur, tapi ikut merasakan imbas dari semburan berupa pencemaran air dan udara yang dipakai untuk bernafas.
“Membuat peta kerawanan bencana, seberapa jauh wilayah racun ini kemudian menyebar dari semburan lumpur Lapindo. Kedua, memastikan adanya jaminan kesehatan kepada wilayah yang terdampak itu, karena apa, karena dia terimbas langsung. Kalau wilayahnya rusak, lingkungannya rusak akibat logam berat dan PAH, maka kesehatannya akan menurun. Maka harus dibuat suatu mekanisme untuk memberikan jaminan kesehatan, sehingga ketika kemudian mereka sakit akibat dari racun-racun yang mereka hirup dari semburan lumpur Lapindo, mereka tidak harus keluar uang lagi untuk membiayai rumah sakit dan sebagainya,” kata Rere.
Selain persoalan kesehatan, masalah pemulihan ekonomi dan sosial budaya perlu mendapat perhatian pemerintah. Harwati, warga penyintas lumpur Lapindo mendesak pemerintah tidak hanya mengurusi masalah ganti rugi tanah dan bangunan warga terdampak, tapi juga persoalan ekonomi dan sosial warga yang berubah pasca semburan lumpur Lapindo.
“Soal pemulihan ekonomi, dari dampak sosial, karena dampak sosial itu sebenarnya sangat lebar sekali kalau kita tarik, sampai perceraian pun di sini sangat besar, dikarenakan dari hasil uang ganti rugi itu, belum semuanya tuntas,” kata Harwati.
Warga penyintas meminta Presiden Joko Widodo memperhatikan persoalan sosial, ekonomi dan kesehatan masyarakat yang masih tinggal di sekitar tanggul lumpur. Sejak bertemu warga penyintas di atas tanggul saat kampanye pada 2014 lalu, Joko Widodo dinilai baru dapat menyelesaikan persoalan pembayaran ganti rugi material yang dialami warga, belum memberi ganti rugi dan pemulihan kondisi masyarakat secara non-material.