Perlu Pengadilan Tersentralisasi untuk Kasus Terorisme

  • Fathiyah Wardah
Hakim dan jaksa yang menangani kasus terorisme harus memiliki pengetahuan yang luas mengenai jaringan terorisme di Indonesia.

Kepala Detasemen Khusus 88 Anti Teror Mabes Polri, Brigjen Tito Carnavian di Jakarta, pada hari Rabu mengungkapkan Indonesia saat ini sangat membutuhkan pengadilan yang tersentralisasi untuk menangani kasus terorisme, dimana para hakim dan jaksanya pun harus memiliki pengetahuan yang luas mengenai jaringan teroris yang ada di Indonesia.

Hal ini penting agar para hakim dapat memutuskan perkara terorisme secara adil. Mneurut Tito, selama ini hakim hanya menjatuhkan hukuman kepada para teroris berdasarkan fakta yang muncul dipersidangan, sehingga terkadang vonis yang dijatuhkan sangat rendah.

Hal inilah yang juga menyebabkan tidak adanya efek jera kepada para teroris tersebut. Saat ini saja ada sekitar 16 orang teroris yang sudah divonis, tetapi ketika keluar dari penjara mereka terlibat lagi dalam kasus tersebut.

Saat ini jaringan teroris tersebar di sejumlah daerah di Indonesia dan saling berkaitan satu sama lain. Untuk itu pengadilan yang tersentralisasi sangat penting untuk Indonesia. Selama ini mereka yang tertangkap akan diadili di pengadilan dimana tempat kejadian perkara terjadi.

“Oleh karena itu dia (hakim) harus mengetahui background mengenai jaringan, mengenai budaya diantara mereka bukan untuk memaafkan tapi dalam rangka untuk memberikan keputusan yang tepat. Kalau dia diberi hukuman rendah contohnya misalnya Shogir. Shogir pembuat bom misalnya dalam kasus kedutaan besar Australia kena tujuh tahun. Kenapa tujuh tahun karena hakimnya memutus berdasarkan fakta yang muncul dipersidangan saja, padahal peranan dalam jaringan penting sekali, keluar, jadi lagi,” ungkap Tito Carnavia.

Detasemen 88 sedang bertugas. Brigjen Tito Carnavian mengungkapkan Indonesia saat ini sangat membutuhkan pengadilan yang tersentralisasi untuk menangani kasus terorisme.

Kepala Desk Antiteror Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Ansyad Mbai menyetujui adanya pengadilan yang tersentralisasi untuk menangani kasus terorisme dan menurutnya Indonesia sedang dalam proses kearah itu. Namun ia tidak dapat memastikan kapan Indonesia memiliki pengadilan yang tersentralisasi tersebut.

“Itu masalah sistem peradilan yah, tentu ada proses panjang, tapi minimal prakteknya itu kan tidak dilarang oleh undang-undang, syaratnya hanya ketua MA mengeluarkan satu fatwa bahwa kasus ini diadili di pengadilan ini, itu harus ada fatwa dari MA pengadilan yang terpusat sebetulnya, kita sudah mengarah kearah itu, tinggal specialized judges dan prosecutors, ini saya kira dalam proses juga, itu kan masalah pengetahuan yah,” jelas Ansyad Mbai.

Menurut Noor Huda Ismail, pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian yang merupakan pendamping para mantan narapidana terorisme di Indonesia, pendekatan penegakan hukum semata dalam menangani terorisme hanya mampu menunda sesaat terjadinya aksi destruktif oleh kelompok teroris.

“Efek jera saya kira itu tidak akan pernah ada karena bagi mereka ini adalah konsekuensi dari perjuangan,” kata Noor Huda.

Paham kekerasan yang dianut oleh mereka tidak akan mudah pupus meski harus mendapatkan hukuman penjara. Untuk itu kata Noor Huda pemerintah harus segera menerapkan pendekatan rekonsiliasi dan rehabilitasi yang mengedepankan dialog.