Sebuah formulir pendek, sejumlah pertanyaan soal kesehatan, satu suntikan kilat dan sebuah kartu vaksin. Itulah proses standar ketika seseorang diberi vaksin Covid-19 di AS.
Kartu vaksinasi sendiri berupa kertas kecil yang ditulis tangan oleh tenaga kesehatan.
Guru sekolah di negara bagian Maryland, Maral Sivaslian, baru-baru ini menerima kartunya.
“Ia bilang saya tidak boleh menghilangkan kartu ini. Saya harus menyimpannya dan memastikan untuk membawanya ketika akan mendapat dosis vaksin kedua.”
BACA JUGA: Dirjen WHO Sesalkan Kesenjangan dalam Vaksinasi COVID-19Kartu vaksinasi itu menjadi pengingat bahwa dalam tiga minggu, pemegangnya harus memperoleh dosis kedua, sekaligus menjadi data cadangan untuk pencatatan elektronik program vaksinasi nasional.
Litjen Tan dari Koalisi Aksi Imunisasi di Amerika, mengatakan, “Jadi siapapun yang disuntik vaksin Covid-19 di Amerika, di negara bagian di mana mereka berada, informasi tersebut akan dicatat secara elektronik ke dalam sistem pendaftaran.”
Akan tetapi, Tan yakin sertifikat vaksinasi itu dapat dengan mudah dipalsukan. Ia menginginkan adanya sistem baru seperti yang sedang dipertimbangkan Organisasi Kesehatan Dunia, WHO.
Kembali, Litjen Tan, “Saya rasa harus ada validasi, harus ada cara untuk memvalidasi informasi tersebut. Itulah sebabnya, menurut saya, perlu sesuatu yang aman secara digital – seperti sertifikat pintar yang sedang dicermati WHO.”
WHO sendiri sudah memiliki sistem yang dinamakan Kartu Kuning, yang intinya berfungsi sebagai catatan resmi vaksinasi yang diperlukan untuk memasuki negara-negara tertentu. Hal serupa diharapkan bisa diterapkan untuk vaksinasi Covid-19.
Nick Careen dari Asosiasi Internasional Transportasi Udara mengusulkan pembuatan aplikasi vaksinasi.
“Izin perjalanan ini intinya berupa aplikasi, yang akan dirancang agar bisa diunduh di ponsel pengguna, baik secara langsung dari Apple iOS, Google Play bagi Android, maupun lewat aplikasi maskapai penerbangan. Dan pada akhirnya, hal itu memungkinkan pengguna mengidentifikasi diri mereka secara digital.”
Forum Ekonomi Internasional juga sedang mengembangkan paspor digital serupa, aplikasi dengan nama Common Pass. Aplikasi itu adalah platform IBM untuk menyimpan semua data medis (pengguna).
Eric Piscini dari IBM Watson Health menuturkan, “Di AS, semua orang diwajibkan untuk mengirimkan aktivitas vaksinasi ke pemerintah negara bagian. Dan negara bagian menyimpan informasi tersebut dalam sebuah sistem pendaftaran. Yang sedang kami lakukan sekarang adalah menghubungkan platform kami dengan sistem pendaftaran tersebut, sehingga kami juga bisa memperlihatkan kembali informasi itu kepada Anda.”
Penggunaan aplikasi digital menimbulkan kekhawatiran di kalangan aktivis HAM yang menekankan bahwa tidak semua orang memiliki ponsel pintar.
Your browser doesn’t support HTML5
Michelle Goodwin dari DCenter for Biotechnology & Global Health Policy mengatakan, “Menghubungkan vaksinasi dengan kebutuhan memiliki telepon pintar yang mahal tidak memenuhi unsur-unsur kebebasan sipil dan hak asasi manusia.”
Meski demikian, para pengembang mengatakan aplikasi itu seharusnya sudah bisa digunakan pada akhir tahun 2021. Pejabat pemerintahan mengatakan sebagian besar hal itu bergantung pada seberapa cepat vaksinasi bisa dilakukan di seluruh dunia dan kapan negara-negara di dunia akan membuka kembali perbatasan mereka. [rd/ka]