Ancaman Korea Utara untuk melakukan serangan misil atas pulau Guam telah memicu seruan perdamaian dari kelompok penduduk asli Guam, yang khawatir akan pecahnya lagi perang setelah menderita ratusan tahun.
Kira-kira sepertiga dari 160.000 penduduk Guam adalah suku bangsa Chamorro, kelompok asli yang diperkirakan pindah dari Indonesia dan Filipina kira-kira 3.500 sampai 4.000 tahun lalu. Menurut kantor berita Associated Press, mereka diyakini sebagai penduduk dunia pertama yang bermigrasi lewat laut.
Suku Chamorro itu telah menderita dibawah penjajahan Spanyol dari abad ke-16, sampai abad ke-19, kemudian menjadi korban ketika terjadi pertempuran-pertempuran dalam Perang Dunia Kedua, dan setelah itu terdesak dengan meningkatnya jumlah pasukan Amerika di pulau itu.
Kata seorang pakar tentang sejarah Guam, “adalah suatu hal tragis yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata” apabila penduduk asli dan kebudayaan mereka menjadi korban lagi dalam perang antara Amerika dan Korea Utara.
“Guam dan pulau-pulau disekitarnya adalah tanah air bangsa Chamorro,” kata Michael Lujan Bavacqua, asisten profesor tentang studi masalah Chamorro pada Universitas Guam.
Sejumlah warga Chamorro berkumpul untuk mengadakan demonstrasi damai minggu ini untuk menjelaskan kepada dunia tentang perjuangan melindungi tanah nenek moyang mereka, untuk mempertahankan hak-hak mereka sebagai penduduk asli dan mengusahakan semacam pemerintahan otonomi.
Pertempuran di pulau Guam antara tentara Amerika dan Jepang dalam perang dunia kedua hampir menghancurkan seluruh kota Hagatna, ibukota Guam.
Tidak banyak usaha untuk memperbaiki gedung dan bangunan yang rusak karena perang itu.
Pembangunan pangkalan-pangkalan militer Amerika di pulau, sama halnya dengan pembangunan hotel-hotel dan resor-resor pariwisata, telah menghancurkan lebih banyak lagi tempat-tempat bersejarah penduduk asli, seperti juga pembangunan hotel-hotel dan resor-resor pariwisata. [ii]