Aung San Suu Kyi, pemimpin sipil Myanmar yang digulingkan, mulai diadili hari Senin (14/6) di ibu kota, Naypyidaw, atas dua dari beberapa tuduhan terkait korupsi yang diajukan terhadapnya oleh junta militer yang merebut kekuasaan lebih dari empat bulan silam.
Suu Kyi yang berusia 75 tahun itu menghadapi tuduhan memiliki walkie-talkie secara ilegal dan melanggar restriksi terkait COVID-19 sewaktu berkampanye dalam pemilihan legislatif tahun lalu. Tim pengacaranya telah mengatakan kepada wartawan bahwa mereka memperkirakan persidangan yang sekarang ini akan berlangsung hingga akhir Juli.
Peraih Hadiah Nobel Perdamaian itu telah ditahan sejak 1 Februari, sewaktu pemerintahan sipilnya digulingkan hampir tiga bulan setelah partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) meraih kemenangan telak dalam pemilu. Selain tuduhan-tuduhan itu, Suu Kyi juga dituduh pihak berwenang melanggar UU Rahasia Resmi, menyulut kerusuhan publik, menyalahgunakan dana untuk yayasan amalnya, dan menerima bayaran ilegal 600 ribu dolar dalam bentuk uang tunai dan 11 kilogram emas.
Phil Robertson, deputi direktur Human Rights Watch wilayah Asia, mengatakan dalam sebuah pernyataan hari Senin bahwa semua tuduhan “harus dibatalkan,” yang mendorong “pembebasan Suu Kyi dengan segera dan tanpa syarat.”
Khin Maung Zaw, salah seorang pengacara Suu Kyi, mengesampingkan tuduhan tambahan dalam pernyataan tertulis kepada VOA pekan lalu, dengan menyebutnya “absurd” dan “tanpa dasar.”
BACA JUGA: Komisi Antikorupsi Myanmar Gugat Suu KyiTuduhan kecurangan pemilu
Junta telah menyebut kecurangan pemilu yang meluas dalam pemilu 8 November sebagai alasan bagi kudeta, tuduhan yang dibantah komisi pemilu sipil. Junta telah mengancam akan membubarkan NLD atas tuduhan tersebut.
Kudeta itu memicu krisis di negara di Asia Tenggara itu yang menyebabkan demonstrasi maut antijunta serta bentrokan antara beberapa kelompok etnik bersenjata dan junta yang berkuasa.
Dalam kampanye untuk menumpas protes, pemerintah telah menewaskan lebih dari 800 pengunjuk rasa dan penonton demonstrasi sejak kudeta, kata Asosiasi Bantuan bagi Tahanan Politik, yang melacak korban dan penangkapan di Myanmar. [uh/ab]