Harapan semakin tinggi terhadap pertemuan antara Menteri Luar Negeri China Wang Yi dan Menteri Luar Negeri Jepang Yoko Kamikawa pekan ini di sela-sela KTT ASEAN di Vientiane, Laos.
Awal pekan ini, wakil menteri luar negeri China, Ma Zhaoxu, bertemu dengan wamenlu Jepang. Pertemuan itu adalah pembicaraan strategis pertama di antara kedua negara sejak 2020. Ma kemudian bertemu dengan Kamikawa saat berkunjung ke Tokyo.
Menurut laporan surat kabar pemerintah China, Global Times, “kedua belah pihak saling menyampaikan pandangan secara jujur dan mendalam mengenai isu-isu strategis utama dalam hubungan China-Jepang.” Sebelum pertemuan tingkat tinggi di Laos, kantor berita Jepang, Kyodo, mengutip sumber pemerintahan yang mengatakan bahwa Tokyo mempertimbangkan kemungkinan pertemuan antara Wang dan Kamikawa.
Kyodo melaporkan pada Kamis (25/7) bahwa kedua negara sudah mulai mengatur pertemuan antara kedua menteri luar negeri pada hari Jumat (26/7).
Dalam pertemuan di Laos itu, para pengamat mengatakan kedua menteri akan membahas banyak isu sengit, di antaranya penahanan sejumlah warga negara Jepang oleh China, sengketa wilayah, serta pembuangan air limbah olahan dari pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima oleh Jepang.
Sachio Nakato, dosen Sekolah Hubungan Internasional Universitas Ritsumeikan di Jepang, mengatakan kepada VOA Mandarin bahwa “tampaknya kurang ada motivasi untuk memperbaiki hubungan Jepang dan China, akan tetapi penting bagi kedua negara untuk memperbaiki hubungan mereka sebaik mungkin.”
Szu-shen Ho, direktur Pusat Studi Jepang dan Asia Timur di Universitas Katolik Taiwan, menyebut tiga poin utama yang diperdebatkan China dan Jepang. Pertama, sengketa wilayah Kepulauan Senkaku, yang disebut China dengan nama Kepulauan Diaoyu; kedua, penahanan sedikitnya lima warga negara Jepang oleh China menyusul penerapan revisi undang-undang antispionase; dan ketiga, pembuangan air limbah olahan PLTN Fukushima ke laut lepas.
Ho mengatakan, meski kedua pihak sedang “menciptakan suasana untuk memperbaiki hubungan mereka,” tak satu pun yang yakin bahwa perselisihan mereka dapat diselesaikan melalui dialog.
Meski demikian, ia mengatakan, jalur komunikasi antara China dan Jepang, baik di antara anggota kabinet kedua negara maupun antar para pemimpinnya, tampak relatif “lancar”. Ia menambahkan, hubungan ekonomi dan perdagangan kedua negara juga masih sangat baik, terlepas dari perang dagang dan teknologi antara AS dan China.
Tahun lalu, Amerika Serikat menjadi pasar ekspor terbesar Jepang, sementara China menjadi sumber impor terbesarnya, menurut data perdagangan Jepang. Akan tetapi, sejak terjadinya pandemi COVID-19, beberapa perusahaan Jepang mengalihkan investasi mereka dari China.
Akhir tahun lalu, Mitsubishi Motors mengumumkan bahwa perusahaan itu meninggalkan pasar China. Awal pekan ini, Nippon Steel mengakhiri bisnis patungannya bersama Baoshan Iron and Steel asal China.
Terlepas dari tantangan-tantangan yang ada, Hsien-Sen Lin, dosen Departemen Studi Asia Timur di National Taiwan Normal University, melihat jalan keluar bagi kedua negara.
Ia percaya beberapa poin utama perselisihan Beijing dan Tokyo dapat diselesaikan. Larangan China terhadap produk-produk akuatik Jepang menyusul pelepasan air limbah olahan PLTN Fukushima merupakan sebuah kesalahan, karena tidak ada negara besar lain yang melakukan hal serupa.
Lin juga percaya bahwa China mungkin akan membebaskan warga negara Jepang yang telah ditahan di China, setelah mereka diadili dan proses hukumnya selesai. Meski demikian, ketegangan terkait Taiwan masih menjadi permasalahan utama.
Pekan lalu, penjaga pantai Jepang dan Taiwan menggelar latihan kemaritiman soal penanggulangan kapal karam di lepas pantai timur Jepang.
Kapal Taiwan berbobot 1.000 ton “Patrol No. 9”, yang merupakan kapal patroli pelayaran samudera, dan kapal patroli “Sagami” milik Penjaga Pantai Jepang terlibat dalam latihan yang digelar di selatan Semenanjung Boso dan dekat Izu Oshima pada 17 Juli lalu.
Latihan yang memicu protes keras dari China itu merupakan latihan kemaritiman gabungan pertama bagi Jepang dan China, sejak Tokyo memutuskan hubungan diplomatik dengan Taipei pada September 1972 dan beralih mengakui Beijing.
Prinsip “Satu China” yang dianut Beijing menuntut negara-negara di dunia untuk memutus hubungan resmi mereka dengan Taiwan. Namun, Jepang, seperti semakin banyak negara lain di kawasan itu, justru meningkatkan hubungannya dengan Taipei untuk menanggapi agresi China yang meningkat.
Sekretaris Kabinet Jepang Yoshimasa Hayashi mengatakan latihan itu tidak ditujukan kepada negara mana pun, termasuk China.
Ho mengatakan, hubungan kerja sama di antara kedua penjaga pantai merupakan sebuah “hubungan jangka panjang.” Ia menambahkan, kedua negara juga mungkin akan bekerja sama dalam bidang keamanan nontradisional di masa depan.
Meski demikian, ia menekankan bahwa baik penjaga pantai Jepang maupun Taiwan bukanlah militer, sehingga masyarakat tidak perlu membesar-besarkannya. Ia menambahkan, ia tidak merasa kerja sama tersebut akan berpengaruh terhadap hubungan China-Jepang. [rd/ab]