Perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di China menghadapi tekanan yang meningkat akibat sejumlah isu, seperti antikorupsi, keamanan nasional, dan investigasi lainnya. Tekanan itu muncul ketika pemerintah Presiden Xi Jinping memperketat kendali atas bisnis, berbenturan dengan upaya pemerintah untuk menarik kembali investor setelah pandemi.
Perusahaan konsultan Bain & Co pada pekan ini mengatakan polisi menginterogasi anggota staf di kantornya di Shanghai. Perusahaan tidak memberikan perincian tentang apa yang dicari penyelidik. Bulan lalu, firma uji tuntas perusahaan Mintz Group mengatakan kantornya di Beijing digerebek polisi yang menahan lima karyawan. Juga bulan lalu, seorang karyawan produsen obat Jepang ditahan atas tuduhan mata-mata. Pemerintah kemudian mengumumkan akan melakukan evaluasi keamanan pembuat cip memori Micron Inc.
Partai Komunis yang berkuasa sedang mencoba untuk menarik kembali minat investor di China meskipun kontrol politik atas ekonomi meningkat. Grup bisnis mengatakan perusahaan global mengalihkan rencana investasi ke Asia Tenggara, India, dan negara ekonomi lainnya.
"Pada saat China secara proaktif berusaha memulihkan kepercayaan bisnis untuk menarik investasi asing, tindakan yang diambil mengirimkan sinyal yang sangat beragam," kata Kamar Dagang Uni Eropa di China, Jumat (28/4), dalam sebuah pernyataan.
Seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri mengatakan dia tidak tahu tentang kasus Bain & Co, tetapi ia membela penegakan hukum China.
“China menyambut perusahaan asing untuk berinvestasi dan berbisnis di China. Kami berkomitmen untuk membangun lingkungan bisnis yang terinternasionalisasi, berorientasi pasar, dan berbasis hukum,” kata Mao Ning. “Semua perusahaan di China harus beroperasi sesuai dengan hukum.”
Xi, pemimpin China yang paling kuat dalam beberapa dekade, sedang meluncurkan berbagai kampanye untuk memperketat kontrol partai yang berkuasa atas pengusaha, memberantas korupsi pejabat, dan mengurangi ketergantungan pada teknologi dan keahlian asing.
Hubungan China dengan Washington, Eropa, dan Tokyo menegang karena perselisihan terkait isu hak asasi manusia, Taiwan, keamanan, dan teknologi. Namun, tidak ada indikasi apakah penyelidikan itu bermotif politik. Perusahaan China telah menjadi sasaran tindakan yang lebih parah.
BACA JUGA: Hong Kong Rayu Wisatawan dengan Tiket Pesawat dan VoucerKantor Deloitte Touche Tohmatsu di Beijing didenda 211,9 juta yuan atau hampir Rp50 miliar pada Maret karena dianggap gagal mengaudit perusahaan milik negara, China Huarong Asset Management Co, secara kompeten. Hal itu terjadi setelah mantan bos Huarong dijatuhi hukuman mati pada 2021 atas tuduhan menerima suap.
Partai yang berkuasa telah memperketat pembatasan hukum atas akses ke informasi tentang perusahaan dan karyawannya. Hal itu meningkatkan ketidakpastian bagi perusahaan, termasuk Bain & Co. dan Mintz Group, yang membantu klien menemukan penipuan atau pelanggaran lainnya yang dilakukan oleh mitra bisnis atau target akuisisi.
“Kami dapat mengonfirmasi bahwa otoritas China telah menginterogasi anggota staf di kantor kami di Shanghai. Kami bekerja sama sebagaimana mestinya dengan otoritas China,” kata Bain & Co. dalam pernyataan tertulis.
Minggu ini, badan legislatif China memperluas cakupan Undang-Undang Spionase untuk memberikan otoritas kepada pihak berwenang untuk mendapatkan akses ke informasi elektronik. UU tersebut mencakup semua “dokumen, data, materi, dan barang yang terkait dengan keamanan nasional,” kata kantor berita pemerintah Xinhua, meskipun tidak disebutkan bagaimana keamanan nasional didefinisikan.
Kamar Dagang AS pada Jumat (28/4) menyatakan keprihatinan tentang dampak UU tersebut pada perusahaan yang “sangat penting untuk membangun kepercayaan investor.”
“Pengawasan tambahan terhadap perusahaan yang menyediakan layanan bisnis penting secara dramatis meningkatkan ketidakpastian dan risiko melakukan bisnis di RRC,” kata Kamar Dagang AS. “Ini adalah masalah yang menjadi perhatian serius bagi komunitas investor dan kemungkinan besar juga untuk mitra bisnis lokal mereka di China.”
Sejunlah perusahaan asing selama bertahun-tahun mengimbau para karyawan yang mengunjungi China untuk tidak membawa komputer atau ponsel yang berisikan informasi rahasia. Pasalnya alat komunikasi itu karena dapat disita oleh pihak berwenang atau dicuri oleh mata-mata industri.
BACA JUGA: InterContinental Hotels Group Incar Pemulihan ChinaSeorang karyawan produsen obat Jepang Astellas Pharma Inc. ditahan pada Maret karena dicurigai sebagai mata-mata. Menteri Luar Negeri Jepang Yoshimasa Hayashi memprotes hal tersebut saat mengunjungi Beijing pada bulan ini.
Duta Besar China untuk Tokyo, Wu Jianghao, pada Jumat (28/4) membela penanganan kasus karyawan Astellas, yang dia identifikasi sebagai Kan Nishiyama.
“Inti dari insiden ini adalah mata-mata yang melibatkan keamanan nasional China. Fakta menjadi semakin konklusif,” kata Wu. Dia tidak memberikan rincian.
“Puluhan juta teman Jepang telah berurusan dengan China. Berapa dekade yang telah ditangkap?” kata duta besar. “Kami menyambut baik kegiatan normal, ramah dan kegiatan ekonomi. Namun jika terlibat dalam spionase ilegal, kita harus melarang sesuai dengan hukum.”
Pada bulan lalu, pemerintah mengumumkan perusahaan teknologi dan manufaktur Micron akan diteliti karena kemungkinan dianggap berisiko berdasarkan Undang-Undang Keamanan Siber China. Perusahaan ini adalah pemasok terkemuka untuk pabrik-pabrik China.
Partai yang berkuasa juga memperketat kontrol atas perusahaan swasta China termasuk raksasa e-commerce Alibaba Group dan layanan ride-hailing Didi Global Inc. Otoritas melakukan meluncurkan investigasi anti-monopoli dan keamanan data terhadap kedua korporasi itu.
Didi Global memindahkan perdagangan sahamnya dari New York Stock Exchange ke Hong Kong Juni lalu. Perusahaan itu didenda 8 miliar yuan atau hampir Rp17 triliun pada bulan berikutnya atas tuduhan salah menangani informasi pelanggan.
BACA JUGA: Mengapa AS dan China Perebutkan Cip?Serangkaian tindakan keras yang dilakukan penguasa itu kontraproduktif dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan minat investor asing. Partai yang berkuasa menginginkan perusahaan asing di bidang mobil listrik dan bidang lainnya untuk datang dan memberikan teknologi baru. Hal tersebut akan menyebabkan persaingan, tapi akan memaksa perusahaan China berkembang.
Grup bisnis sebelumnya mengatakan perusahaan global mengalihkan rencana investasi ke Asia Tenggara, India, dan Amerika Serikat karena sulitnya mengunjungi China, serta biaya yang lebih tinggi dan peraturan yang lebih rumit.
Pada sebuah forum yang digelar pada Maret dengan para pemimpin bisnis termasuk CEO Apple Inc. Tim Cook, pejabat ekonomi utama negara itu, Perdana Menteri Li Qiang, menjanjikan “ruang yang luas” bagi para pesaing asing. [ah/ft]