Untuk pertama kalinya dalam sejarah pemilu, Indonesia akan menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah secara serentak pada 9 Desember 2015 nanti. Meskipun diselenggarakan melalui undang-undang baru yang disempurnakan, tetapi masih dijumpai berbagai persoalan lama yang tidak terselesaikan, misalnya seputar politik uang.
Minggu-minggu ini adalah masa kampanye untuk pasangan calon kepala daerah di sembilan provinsi, 36 kotamadya dan 224 kabupaten di seluruh Indonesia. Di Daerah Istimewa Yogyakarta, dari lima kabupaten/kota, ada tiga kabupaten yang akan menjadi bagian dari Pilkada serentak 9 Desember 2015 nanti.
Namun, tidak seperti masa kampanye sebelumnya yang penuh iklan, dalam Pilkada serentak kali ini, tidak ada cukup banyak baliho, poster atau spanduk pasangan calon yang menghiasai jalan atau tertempel di pepohonan. Kampanye yang cenderung bersih dari sampah visual ini merupakan hasil dari berbagai perbaikan yang diamanatkan dalam undang-undang Pilkada 2015.
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) DIY, Farid Bambang Siswantoro kepada VOA menuturkan, aturan baru yang ketat ini juga lebih adil bagi calon. Kekuatan kampanye akan merata, karena pasangan dengan dana kampanye lebih besar, tidak berarti bisa memasang iklan lebih banyak. Seluruh iklan dalam segala bentuknya, dikelola oleh KPU.
“Perbaikan ini misalnya, supaya uang yang disebar tidak terlalu bertaburan, dikerahkan oleh para pasangan calon maka didanai oleh anggaran negara. Itu satu hal yang sebenarnya sudah satu kemajuan karena dengan demikian maka pasangan calon yang dari sisi pendanaan tidak terlalu kuat, tidak masalah karena anggaran yang dia keluarkan akan sama seperti rivalnya,” kata Farid Bambang Siswantoro.
Your browser doesn’t support HTML5
Salah satu calon bupati yang maju dalam Pilkada di Kabupaten Sleman, DIY, Yuni Satia Rahayu mengaku bisa menerima sistem baru ini. Meskipun masa kampanye menjadi lebih sepi, dan pasangan calon harus bekerja lebih keras bertemu langsung dengan masyarakat karena keterbatasan iklan.
“Itu tidak menjadi masalah, karena kita mau mengikuti peraturan yang sudah dibuat oleh pemerintah. Dan itu sudah didukung oleh banyak pihak, untuk menyiasatinya, ya kami lebih banyak bertemu langsung dengan masyarakat,” kata Yuni Satia Rahayu.
Hanya saja, menurut Farid Bambang, sistem baru ini masih memiliki kekurangan. Salah satunya adalah tidak dapat menjamin hilangnya mahar politik dari pasangan calon kepada partai politik yang mencalonkan mereka. Mahar politik ini bisa berupa uang maupun komitmen tertentu jika pasangan yang didukung menang. Farid Bambang juga menilai, sistem baru belum menjamin kepala daerah yang terpilih adalah yang berkualitas.
Senada dengan itu, peneliti dari Pusat Reformasi Pemilu atau Center for Electoral Reform (Cetro), Partono MA mengatakan, undang-undang yang baru memang sudah lebih baik tetapi belum tentu hasilnya lebih baik. Selain kualitas kepala daerah terpilih masih diragukan, perilaku politik uang sepertinya sulit dihilangkan karena tidak ada sanksi yang jelas. Padahal, di Indonesia, politik uang adalah persoalan kronis yang merusak kualitas Pemilu itu sendiri.
“Perilaku politik uang itu sangat bergantung kepada perilaku calon dan juga perilaku pemilih. Yang menjadi kelemahan di undang-undang kita, Undang-Undang Pemilukada 2015 ini, memang kita tidak mengatur secara jelas, secara tegas, sanksi kepada pelaku politik uang ini. Sehingga saya berpikir, nanti praktek politik uang tidak akan berubah secara signifikan,” kata Partono.
Sistem Pilkada yang dilakukan serentak ini menurut Partono memiliki banyak kelebihan. Pertama, penyelenggaraanya lebih mudah diawasi karena dilakukan bersamaan. Kedua, pemain politik yang sering mencalonkan diri di beberapa kabupaten secara bergantian akan hilang, karena kesempatannya terbatas.
Selain itu, lebih murah karena tidak ada pemilihan putaran kedua. Siapapun yang menang dalam putaran pertama akan otomatis memenangkan kursi kepala daerah. [ns/eis]