Para penyintas lumpur Lapindo yang berada di luar area terdampak, menyayangkan sikap para calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur yang belum menunjukkan komitmen dan perhatian serius terhadap masalah warga di sekitar tanggul lumpur Lapindo, di Porong, Sidoarjo.
Warga Desa Glagaharum, Kecamatan Porong, Achmad Thohirin, mengatakan hingga kini persoalan sehari-hari seperti masalah ekonomi, lapangan pekerjaan, dan dampak lingkungan lumpur Lapindo, belum menjadi perhatian dan komitmen para pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur. Kandidat Kepala Daerah Jawa Timur ini diharapkan ikut memikirkan persoalan yang dihadapi warga, serta mencarikan penyelesaian atas kesulitan yang selama ini dirasakan.
“Paling tidak, kalau untuk wilayah kami sendiri ya, lebih memperhatikan lingkungan yang terdampak (di luar peta). Kalau yang korban (di dalam peta) sih aman-aman saja, bisa keluar dari desa, terus beli (rumah) lagi kan aman. Kalau yang terdampak (tidak langsung) ini terus menerus (merasakan)," kata Thohirin.
"Kadang-kadang sering, kayak tidak ada sama sekali kompensasi dari pemerintah. Pernah juga tanya ke pemerintah desa juga begitu jawabnya. Kalau dulu banyak yang kerjanya di sawah, terus sekarang ini sawahnya sudah tercemar air (lumpur), secara otomatis kan tidak bisa bercocok tanam lagi,” ujarnya.
Masalah lumpur Lapindo yang sudah berjalan hampir 12 tahun, tidak hanya menyisakan persoalan ganti rugi yang belum tuntas, namun juga persoalan sosial, ekonomi, budaya, kesehatan, dan keberlangsungan lingkungan.
Penyintas Lumpur Lapindo asal Desa Siring, Kecamatan Porong, Harwati, mengatakan tenggelamnya desa tempat tinggalnya oleh lumpur Lapindo juga turut menghilangkan hak pilih dalam pemilu yang dulu ada sebelum lumpur meluap. Diperkirakan lebih dari 2.000 keluarga penyintas lumpur Lapindo yang terusir dari desanya, kehilangan hak suara dalam pemilu sejak 2009 lalu.
“Yang di dalam peta, hak pilih warga korban tidak ada. Itu sekitar 2014. Pada 2009 juga tidak ada, sih. Kita tidak melapor ke Panwaslu, tapi 2014 kami melapor ke Panwaslu bahwa 4 desa yang terdampak (langsung) lumpur, itu tidak memiliki hak pilih," urai Herawati.
"Sekarang pun kami tidak tahu apakah hak pilih kami masih ada atau tidak, karena kami tidak didata walau pun sudah pindah ke desa lain. Saya tidak pernah terdata walaupun ada pendataan kemarin, di Desa Candi Pari, ada pendataan hak pilih tapi mereka tidak mendatangi saya untuk mendata,” kata dia.
Harwati berharap Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur, yang nantinya terpilih, lebih peduli dan memperhatikan permasalahan yang dihadapi warga, terutama di daerah yang tertimpa musibah seperti di Porong dan sekitarnya.
Pilkada Gubernur di Jawa Timur menjadi perhatian serius Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), yang menilai kasus kerusakan lingkungan di Jawa Timur merupakan salah satu yang terburuk.
Kepala Kampanye Jatam, Melky Nahar, mengungkapkan pengawalan persoalan lingkungan dikaitkan Pilkada sangat penting dilakukan, untuk memastikan persoalan serupa lumpur Lapindo di Porong tidak terjadi di wilayah lain, akibat tidak adanya komitmen calon kepala daerah atas persoalan kelestarian lingkungan.
“Jawa Timur merupakan suatu daerah dengan kasus kerusakan lingkungan yang cukup parah di Indonesia. Nah, dihadapkan dengan Pilgub Jawa Timur 2018 ini yang diikuti oleh dua pasangan calon ini, sampai detik ini, kami tidak melihat satu fakta bagaimana kedua pasangan calon ini mau terlibat untuk membicarakan persoalan-persoalan lingkungan, atau persoalan rakyat kita hari ini di Jawa Timur. Visi misi mereka secara spesifik, sama sekali tidak menyinggung apa yang terjadi di Porong ini,” ujar Melky.
Your browser doesn’t support HTML5
Wahyu Eka dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur berharap para calon kepala daerah mau menunjukkan kepedulian dan komitmennya untuk membenahi kerusakan lingkungan yang telah terjadi selama ini, serta memikirkan upaya pemulihan dan antisipasi agar kerusakan lingkungan tidak terjadi di tempat lain.
“Komitmen dari para calon untuk turut berperan aktif menyelesaikan persoalan-persoalan lingkungan hidup di Porong, dan juga untuk di wilayah yang lainnya, harapannya mereka melihat berbasis pada krisis sosial ekologis yang ada di Jawa Timur, melihat Porong ini sebagai tolok ukur, dan jangan sampai daerah-daerah lainnya mengalami persoalan serupa,” kata Wahyu Eko.