Penjemputan tanpa alasan jelas ini mendapat kecaman dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya, serta pengacara Aliansi Mahasiswa Papua.
Penjemputan dan dibawanya 233 mahasiswa Papua dari asrama mahasiswa di Jalan Kalasan ke Polrestabes Surabaya, setelah para mahasiswa tersebut melakukan aksi memperingati 1 Desember sebagai deklarasi kemerdekaan Papua Barat.
BACA JUGA: Mahasiswa Papua Gelar Aksi 1 Desember di Surabaya, Sejumlah Ormas MenolakAksi mahasiswa Papua yang mendapat tentangan dan penolakan sejumlah ormas karena dianggap tindakan separatis, berlanjut dengan pengepungan dan intimidasi ormas di asrama mahasiswa. Setelah dilakukan pembicaraan dengan polisi, mahasiswa akhirnya dipulangkan dan dievakuasi ke daerah masing-masing, terutama mahasiswa yang tidak berdomisili di Surabaya.
Kapolrestabes Surabaya, Kombes Pol Rudi Setiawan mengatakan, proses evakuasi dan pemulangan mahasiswa Papua dari luar Surabaya berjalan aman dan lancar, dengan jaminan keamanan dari aparat kepolisian.
“Proses evakuasi kelompok mahasiswa yang menamakan dirinya Aliansi Mahasiswa Papua telah berjalan dengan lacar dan kondusif. Tadi ada 1 bus berjumlah 50 orang sudah kita kembalikan ke daerah Malang, karena mereka berasal dari daerah Malang, mahasiswa Malang. Dan kurang lebih ada 103 itu kita kembalikan ke berbagai daerah, dari terminal bus Bungurasih (Purabaya). Sisanya yang berdomisili di Surabaya, tadi kita sudah saksikan juga, 83 sudah kembali ke rumahnya (kos-kosan) masing-masing,” ungkap Rudi.
Evakuasi dan pemulangan mahasiswa Papua dari luar Surabaya ke daerah domisilinya, menurut Rudi Setiawan untuk menghindari bentrok antara mahasiswa dan ormas. Polisi kata Rudi, akan bertindak tegas terhadap setiap tindakan yang mengganggu keamanan dan ketertiban kota Surabaya.
“Kami aparat akan menindak tegas siapapun yang mengganggu ketertiban dan keamanan Kota Surabaya. Forpimda (forum pimpinan daerah) di sini kompak, akan melakukan penegakan hukum, menjaga ketertiban,” tambahnya.
Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya, Fatkhul Khoir mengatakan, penjemputan paksa dan diamankannya mahasiswa Papua dari asrama mahasiswa ke Polrestabes Surabaya, merupakan tindakan sewenang-wenang aparat Kepolisian yang seharusnya dapat menjamin keamanan dan melindungi mahasiswa Papua dari ancaman kelompok lain.
“Pertama, tindakan yang sewenang-wenang ya, karena tidak jelas kenapa mahasiswa (Papua) harus dibawa, diamankan ke Polrestabes ya. Kalau memang dirasa ada ancaman dan sebagainya kan tinggal polisi berikan pengamana di asrama (mahasiswa) Papua kan, tanpa harus kemudian membawa mereka seluruhnya ke Polrestabes,” kata Fatkhul.
Fatkhul Khoir juga menegaskan bahwa aksi mahasiswa pada 1 Desember kemarin, merupakan kebebasan menyampaikan pendapat yang dilindungi oleh Undang-Undang. KontraS Surabaya mendesak polisi memberikan perlindungan terhadap mahasiswa Papua, yang selama ini sering mendapat tekanan dan persekusi dari ormas maupun aparat keamanan.
“Polisi harus lebih fair ya dalam konteks ini, apalagi kan persekusi, dan ini kan sering terjadi terhadap mahasiswa Papua. Seharusnya aparat keamanan justru memberikan perlindungan terhadap mahasiswa Papua, agar mereka mendapatkan jaminan rasa aman terhadap semua aktivitas yang sedang dia lakukan. Karena apa yang dilakukan mahasiswa pada aksi kemarin (Sabtu, 1 Desember 2018) itu kan bagian dari bentuk penyampaian kebebasan berpendapat dan berpikir,” imbuh Fatkhul.
Your browser doesn’t support HTML5
Selain mengevakuasi mahasiswa Papua yang berdomisili di luar Surabaya, polisi juga mengamankan dan mengevakuasi seorang warga negara Australia, yaitu Harman Ronda Amy, yang kedapatan berada di asrama mahasiswa Papua, di Jalan Kalasan, Surabaya. Selanjutnya, perempuan warga negara Australia ini diserahkan ke Imigrasi Tanjung Perak, untuk diproses lebih lanjut.
Sementara itu, pengacara pendamping Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Veronica Koman kepada VOA memastikan semua mahasiswa Papua yang berdomisili di luar Surabaya telah dipulangkan ke daerahnya masing-masing. Veronica menyebut tindakan ini sebagai sebuah pengusiran, karena di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia seharusnya warga negaranya bebas berada dan bergerak ke provinsi mana saja. [pr/ii]