Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri Irjen Boy Rafli Amar kepada wartawan Senin siang (14/11) menyatakan sedang menelusuri jaringan Juanda alias Jo bin Muhammad Aceng Kurnia (37 tahun) tersangka kasus bom molotov di Gereja Oikumene Sengkotek, Samarinda, Kalimantan Timur.
Menurut Boy, motif Juanda melakukan pelemparan bom molotov itu hanya ingin menyakiti orang lain. Juanda diduga terkait jaringan teroris kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Kalimantan Timur yang memiliki hubungan dengan jaringan Fauzan Al Anshori Jawa Timur yang telah berbaiat dengan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah). Selain menginterogasi pelaku peledakan itu, polisi juga telah memeriksa 15 orang yang diduga terkait kasus ini.
Dari hasil pemeriksaan pendahuluan ini diketahui tersangka merakit bom selama tiga hari di rumahnya. Tersangka belajar merakit bom selama berada di Aceh pada 2009 hingga 2011.
"Pelaku belajar merakit bom pada saat di Aceh dari tahun 2009 sampai 2011. Sekarang ini proses pemeriksaan terhadap mereka-mereka ini yang dicurigai , diupayakan oleh penyidik dalam waktu 7x24 jam akan ditentukan statusnya," ujar Boy.
Berdasarkan keterangan saksi, peristiwa tersebut berawal sekitar pukul 10.00 WITA ketika jemaat sedang menjalankan ibadah di Gereja Oikumene. Ketika itu Juanda muncul dan melempar bom molotov ke halaman parkir gereja. Bom meledak dan api menyambar hingga ke pintu masuk gereja. Empat anak yang sedang bermain di halaman gereja menderita luka bakar parah, satu diantaranya meninggal dunia Senin dini hari (14/11).
Ketika diinterogasi polisi, Juanda mengaku berniat membuat ledakan di dalam gereja.
Juanda diketahui sebagai narapidana teroris dalam kasus bom buku. Dia divonis 3,5 tahun penjara pada tahun 2011. Selang tiga tahun kemudian – tepatnya pada Juli 2014 – ia memperoleh remisi Idul Fitri dan bebas bersyarat. Bukannya insyaf, Juanda justru kembali melanjutkan aksi teror dengan belajar merakit bom dan melempar salah satu bom molotov hasil rakitannya ke gereja Oikumene.
Pengamat terorisme Yayasan Prasasti Perdamaian, Taufik Andrie mengatakan sebagian narapidana teroris yang sangat radikal seperti pimpinan ISIS untuk kawasan Asia Tenggara – Aman Abdurrahman – atau tokoh-tokoh radikal lain seperti Abubakar Baasyir dan beberapa lainnya memang menolak program deradikalisasi yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Tak heran jika pemahaman radikal mereka tetap bercokol di benak mereka, bahkan ada yang bertambah radikal dan tidak sungkan mengulang perbuatannya setelah keluar dari penjara.
Untuk itu, kata Taufik, perlu dirumuskan kembali program-program di dalam lapas dan di luar lapas dengan lebih serius, sistematis dan dalam jangka panjang. Pengawasan terhadap mereka yang memperoleh pembebasan bersyarat dan yang telah bebas juga harus dilakukan secara ketat terutama terhadap para teroris yang masuk kategori sangat radikal.
Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) Sidney Jones juga berharap program deradikalisasi yang dilakukan pemerintah dapat lebih ditingkatkan lagi. Program ini tambahnya bisa diperkuat lagi agar penjara tidak dijadikan oleh teroris sebagai tempat yang subur untuk melakukan perekrutan .
"Mereka bisa membedakan antara orang kecewa dan mungkin ingin kerjasama dengan pemerintah untuk mencegah orang lain berangkat dan orang-orang yang betul masih mempunyai niat yang kurang baik. Kalau orang terakhir seperti itu saya kira harus dipantau," kata Sidney.
Your browser doesn’t support HTML5
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto mengatakan bahwa pemerintah akan mengevaluasi program deradikalisasi yang selama ini dijalankan. Selama ini tambahnya program deradikalisasi yang dilakukan BNPT menitikberatkan pada metode pendekatan lunak (soft approach), karena memang pemerintah menghindari cara penanggulangan terorisme yang bersifat keras (hard approach).
Kepolisian Indonesia menyatakan akan terus meningkatkan kewaspadaan dan pengamanan di seluruh pelosok negara, terutama menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru. [fw/wm]