Kepada wartawan usai membuka seminar ASEAN-Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jakarta, Selasa (8/11) Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia A.M. Fachir menambahkan masyarakat internasional kian sadar soal beragam konsekuensi yang dihadapi semua negara terhadap ekstremisme kekerasan. Karena itulah, menurut Fachir, masing-masing negara mencoba memperkuat diri sekaligus bekerja sama dengan negara lain dalam menghadapi eksremisme dan terorisme.
Dalam rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Rakyat beberapa bulan lalu, Kepala BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) Suhardi Alius mengatakan 53 jihadis asal Indonesia yang bertempur bersama ISIS telah kembali. Hal serupa juga dilakukan ribuan jihadis dari Eropa, Asia, dan Australia.
Fachir menekankan Indonesia sebagai negara demokratis berpenduduk Muslim terbesar dunia berpengalaman menangani terorisme dan konflik sektarian.
“Karena itu, pengalaman-pengalaman kita, baik dari sisi pencegahan konflik, resolusi konflik, menangani radikalisme, ekstremisme, itu coba kita bagikan. Menurut mereka, menurut pandangan kita, kita dinilai sangat berhasil dalam pendekatan yang kita sebut hard approach maupun soft approach. Kita bisa menangani dari Bom Bali sampai terakhir, Bom Jakarta,” ujar Wakil Menlu Indonesia A.M. Fachir.
Bahkan, Fachir menambahkan, Indonesia dinilai sangat cepat dan berhasil dalam menangani Bom Thamrin di Jakarta sekaligus mengembalikan keadaan kembali normal. Fachir menjelaskan Indonesia juga berpengalaman dalam menangani konflik sektarian di Poso (Sulawesi Tengah) dan Ambon (Maluku).
Asisten Sekretaris Jenderal PBB Bidang Politik Miroslav Jenca menjelaskan krisis kekerasan tengah menyebar ke seluruh dunia, termasuk Suriah, Yaman, Afghanistan, Irak, Libya. Jenca menambahkan jumlah pasukan perdamaian PBB yang diterjunkan saat ini terbesar sepanjang sejarah.
Jenca mengatakan delapan dari sepuluh negara anggota ASEAN mengirimkan lebih dari empat ribu tentara dan polisi dalam misi perdamaian PBB di berbagai daerah konflik bersenjata.
“Penyebaran konflik dipicu oleh ekstremisme kekerasan saat ini di luar kontrol masyarakat internasional. Sekretaris Jenderal PBB (Ban Ki-moon) telah menyampaikan keprihatinan sangat mendalam tentang kemunculan terorisme dan ekstremisme kekerasan menjadi tantangan bagi pemerintah dan masyarakat sipil dalam beberapa tahun belakangan di Asia Tenggara dan seluruh dunia,” ujar Asisten Sekjen PBB Bidang Politik Miroslav Jenca.
Fachir mengakui penyebaran paham ekstremis dan terorisme kini lebih gencar melalui media sosial karena media sosial sangat berpengaruh. Untuk menangani ini, kata Fachir, sistem pendidikan di Indonesia cukup mampu menangkal paham-paham yang tidak diinginkan tersebut. Selain itu, perlu menambah pembekalan bagi generasi muda Indonesia dengan konten-konten positif.
Fachir menjelaskan sejak awal Indonesia menghormati nilai-nilai minoritas dan Indonesia terbentuk karena keberagaman, menjaga dialog, dan toleransi. Hal-hal ini, menurut Fachir akan mampu membendung penyebaran paham-paham ekstremis dan teroris.