Dua pasangan calon akan bertarung pada babak penentuan di pemilihan gubernur DKI Jakarta bulan depan, yakni pasangan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan Saiful Djarot Hidayat dan pasangan Anies Banswedan-Sandiaga Uno.
Sebagian pihak memandang pertarungan dua pasangan kontestan itu lebih banyak diwarnai politik identitas, antara Ahok dari kelompok minoritas Cina dan non-muslim menghadapi Anies yang merupakan kandidat kelompok muslim etnis Jawa. Warna politik identitas dinilai jauh lebih kental dibanding adu gagasan dan kebijakan bagaimana membangun dan memajukan kesejahteraan masyarakat ibu kota.
Isu politik identitas makin kentara setelah Ahok diduga melakukan penistaan agama terkait pernyataannya mengutip Surat Al-Maidah ayat 51. Kasus ini tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara sejak awal Januari lalu.
Dalam sebuah diskusi di Jakarta pada Rabu (29/3), peneliti dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Amin Mudzakir mengatakan kentalnya politik identitas ini tercermin dari salah satu survei yang dilakukan Pollmark, dimana orang lebih memilih kandidat karena pertimbangan agama ketimbang kinerja. Sekitar 21,6 persen responden memilih calon gubernur karena agamanya, sedangkan 16,3 persen memilih karena kinerjanya.
Your browser doesn’t support HTML5
“Ini kan fakta. Artinya, harus diakui secara faktual agama sangat mempengaruhi pilihan-pilihan orang dalam prosses politik. Dan fakta seperti inilah kemudian digunakan, tidak hanya oleh kontestan tapi juga para konsultan politik. Kemudian fakta ini digunakan oleh para konsultan politik atau lembaga-lembaga pemenangan pemilu sebagai dasar untuk memobilisasi para pemilih. Ini masalah karena secara normatif bertentangan dengan rasionalitas politik,” ujar Amin Mudzakir.
Amin menambahkan berdasarkan kajian beberapa lembaga survei pada putara pertama Pilkada, para pemilih Jakarta terbukti bukan pemilih rasional. Karena itu, lanjutnya, tantangan bagi semua pihak untuk mengembalikan rasionalitas politik masyarakat agar memilih calon semata-mata berdasarkan kinerjanya bukan karena latar belakang agama dan kesukuan.
Ditambahkannya politik identitas dalam pemilihan gubernur Jakarta kali ini hanya digunakan untuk kepentingan belaka. Oleh karena itu, ia mengajak masyarakat untuk menjadikan rasionalitas politik sebagai pertimbangan utama dalam memilih calon kepala daerah, bukan politik identitas.
M. Wahyuni Nafis, Ketua Nurcholis Madjid Society, menerangkan munculnya isu politik identitas dalam pemilihan gubernur Jakarta tahun ini lantaran mulai tergerusnya cara berpikir kritis di kalangan umat Islam. Walhasil, ketika orang berbicara soal agama, tidak pernah sampai pada substansi, hanya berkeliling di kulitnya saja.
Karena itulah, menurut Nafis, sangat mungkin sifat-sifat islami itu dimiliki kaum non-muslim. Sebaliknya sifat-sifat kekafiran juga bisa ada pada orang Islam.
“Artinya sifat-sifat kekafiran yang ada dalam Al-Quran itu ada pada orang-orang Islam. Apa itu sifat-sifat kekafiran pada orang Islam? Yaitu tidak menghormati nilai-nilai kemanusiaan, tidak mengapresiasi kerja-kerja riil, tidak berpihak pada orang yang lebih baanyak memberikan maslahat, dan sebagainya,” ujar Ketua Nurcholis Madjid Society, Wahyuni Nafis.
Dalam kesempatan yang sama, Usep S. Ahyar dari lembaga survei Populi Center mengakui ada isu SARA dalam pemilihan gubernur Jakarta. Ia mencontohkan tingginya tingkat kepuasan publik atas kinerja Ahok, tetapi elektabilitasnya tetap rendah.
Usep mengatakan masyarakat sebenarnya menolak isu SARA dalam pemilihan gubernur Jakarta. Ini tampak dalam survei yang dilakukan Populi Center, dimana hampir 80 persen masyarakat menolak isu SARA. Tapi ketika identitas sosial itu dalam konteks politik identitas, terjadi hierarki. [fw/em]