Seorang anggota kongres Filipina pada Selasa (24/10) meminta jaksa penuntut untuk menuntut mantan presiden Rodrigo Duterte setelah ia diduga mengancam akan membunuhnya dan menyebutnya seorang komunis.
Wakil Pemimpin Minoritas DPR France Castro mengajukan tuntutan pidana ke jaksa di Manila, yang akan memutuskan apakah ada cukup bukti untuk menuntut Duterte.
Castro, yang mewakili ACT Teachers Partylist, sebuah partai progresif, menuduh Duterte melakukan kejahatan “ancaman berat” berdasarkan Undang-Undang Pencegahan Kejahatan Dunia Maya dalam wawancara pada 10 Oktober dengan stasiun televisi SMNI.
Saat itu Duterte memberikan nasihat kepada putrinya, Wakil Presiden Sara Duterte, tentang bagaimana ia dapat menggunakan dana intelijen dan rahasia yang dialokasikan untuk kantornya dan Departemen Pendidikan, yang juga ia pimpin.
BACA JUGA: Duterte: Perang Melawan Narkoba Jauh dari Selesai, Filipina Perlu Pembatasan Ketat Pandemi“Target pertama dengan dana intelijen adalah kamu, kamu France. Kamulah komunis yang ingin saya bunuh,” kata Duterte dalam wawancara yang disebar ribuan kali di Facebook. Belakangan, postingan itu dihapus dari laman Facebook SMNI.
Komite alokasi DPR memutuskan pada hari yang sama untuk mengalihkan dana yang dialokasikan ke beberapa departemen pemerintah, termasuk kantor wakil presiden dan pendidikan, ke lembaga-lembaga yang terlibat dalam keamanan nasional.
Dalam pengaduannya, Castro mengatakan ancaman Duterte "secara faktual tidak berdasar dan jelas-jelas jahat", tetapi ia tidak bisa menganggap ancaman tersebut sebagai "kiasan, lelucon, atau tindakan yang tidak berbahaya".
Pengacara Castro, Antonio La Vina, mengatakan kepada wartawan bahwa ini adalah tuntutan pidana pertama yang diajukan terhadap Duterte sejak ia meninggalkan jabatannya.
Duterte dilindungi dari tuntutan ketika ia menjadi presiden. Namun kini ia menjadi warga negara biasa dan dapat didakwa atas dugaan kejahatan yang dilakukan di Filipina.
La Vina mengatakan hukuman maksimum untuk "ancaman berat" adalah enam tahun penjara dan denda hingga 100.000 peso ($1.760).
Duterte kerap mengancam akan membunuh orang, termasuk pengedar narkoba dan aktivis HAM, ketika ia menjadi presiden periode 2016 hingga 2022.
Ia juga sering melabeli para kritikus sebagai simpatisan komunis -- sebuah praktik yang dikenal sebagai "penandaan merah", yang dapat mengakibatkan penangkapan, penahanan, atau bahkan kematian orang yang menjadi sasarannya.
BACA JUGA: Laporan HAM PBB Soroti Pembunuhan di Luar Hukum di FilipinaKebijakan khasnya adalah kampanye antinarkoba yang menewaskan ribuan orang dan memicu penyelidikan internasional atas dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan.
“Saya sangat terkejut dengan ancaman tersebut,” kata Castro kepada wartawan, Selasa. "Ia tidak bisa lagi bersembunyi. Ia harus bertanggung jawab karena telah mengancam nyawaku."
Mantan sekretaris eksekutif Duterte, Salvador Medialdea, mengatakan kepada AFP bahwa Duterte belum menerima pengaduan tersebut. [ab/uh]