Bentrokan antara kekuatan-kekuatan yang setia kepada kedua presiden Pantai Gading yang saling berseteru berlanjut memasuki hari keempat di Abidjan, selagi pasukan Prancis menguasai bandara kota itu.
Presiden Laurent Gbagbo masih terus mempertahankan kekuasaannya sampai hari Minggu, sementara suara tembakan sekali-sekali terdengar di jalan-jalan Abidjan yang berdebu.
Prancis mengatakan telah mengirim pasukan tambahan dan mengamankan bandara dengan pasukan penjaga perdamaian PBB, selagi bandara itu menjadi tempat berlindung bagi lebih dari seribu warga negara asing yang berkemah di luar kota itu.
Abidjan ditutup sejak pasukan-pasukan yang loyal kepada lawan Gbagbo, Alassane Ouattara, menyusup masuk ke kota itu hari Kamis dan memulai upaya akhir untuk mencopot Gbagbo.
Gbagbo menampik semua tuntutan agar mundur sejak Ouattara dinyatakan sebagai pemenang pemilihan presiden Pantai Gading November lalu.
Gbagbo yang masih berkuasa masih memperoleh dukungan dari kelompok pasukan-pasukan yang setia, termasuk Patriot Muda, kelompok muda bersenjata yang terkenal dengan penggunaan kekerasan dan retorika yang berapi-api.
Seorang pria bersenjata yang menyebut dirinya sebagai Jenderal La Poudriere adalah anggota kelompok itu. Ia mengatakan, “Dengan mengorbankan darah kami, kami akan mati sehingga republik ini dapat hidup terus, untuk anak-anak kami.”
Tetapi, wakil panglima Pasukan Republik Ouattara mengatakan tidak bergeming dengan pernyataan itu. “Bukan Patriot Muda yang membuat kani takut. Mereka bukan militer. Itu semua hanya gertak sambal,” ujarnya.
Untuk saat ini, kelompok Patriot Muda melindungi istana presiden dan televisi milik pemerintah, yang menyiarkan pidato Gbagbo serta permintaan pasukan tambahan untuk mendukungnya.
Kelompok-kelompok HAM mendesak kedua pihak agar mencegah jatuhnya korban sipil. Peringatan-peringatan mereka itu disampaikan setelah Palang Merah dan Yayasan Bantuan Katolik Caritas melaporkan antara 800 sampai 1.000 orang dibunuh di Pantai Gading barat minggu lalu. Tubuh mereka ditemukan di sebuah kota yang berhasil direbut pasukan pemberontak, walaupun belum jelas siapa yang melakukannya.
Dalam wawancara minggu lalu, juru bicara untuk Badan HAM PBB, Rupert Colville, mengatakan nampaknya sebagian pasukan Ouattara terlibat dalam pembunuhan itu. Ia mengatakan, “Hal ini tidak mengejutkan. Ada pasukan bersenjata yang ebrgerak di seluruh negeri dengan pertempuran yang terjadi di berbagai tempat, tetapi sebagian orang di pihaknya nampaknya melakukan cara di luar batas yang dapat diterima.”
Colville mengingatkan bahwa kedua pihak akan dimintai pertanggungjawaban atas semua pelanggaran hukum kemanusiaan internasional.