Presiden Baru AS Hadapi Tugas Berat Satukan Rakyat

Foto para pendukung kedua capres AS.

Hari Selasa, para pemilih AS akan mendatangi TPS untuk memilih presiden baru. Pilihan antara Hillary Clinton dari Demokrat dan Donald Trump dari Republik mencerminkan polarisasi politik di AS yang berkembang selama berpuluh-puluh tahun. Dan para pakar memperingatkan bahwa perbedaan yang tajam itu sepertinya tidak akan segera mereda terlepas dari siapapun yang terpilih pada 8 November.

Beberapa hari menjelang pemilihan presiden, kedua calon presiden terus berkampanye.

Dalam pidato kampanyenya Donald Trump berkata, “Kita berada pada titik perubahan bersejarah yang akan mengalihkan kekuasaan dari elit politik yang sudah gagal, dan mengembalikannya kepada keluarga, masyarakat, dan warganegara kita, dan kepada Anda.”

Sementara itu Hillary Clinton mengatakan, “Apabila anak dan cucu Anda menanyakan apa yang Anda lakukan pada tahun 2016 ketika semuanya dipertaruhkan, saya ingin Anda bisa mengatakan, saya memilih untuk memperjangkan AS yang lebih baik, lebih kuat dan lebih adil.”

Hanya tinggal sedikit undecided voter atau pemilih yang belum menentukan sikap, sehingga fokus kedua kubu adalah memotivir mereka agar datang ke TPS dan memilih.

Matt Gammon, pakar kampanye pada WPA Research di Washington D.C. mengatakan, “Yang benar-benar Anda perhatikan sekarang adalah orang-orang yang masih ragu, atau telah menentukan sikap tetapi Anda tidak yakin siapa yang akan mereka pilih, atau mereka belum menentukan sikap secara pasti.”

Isu ras berperan penting dalam pilpres kali ini. Kandidat partai Republik Donald Trump memusatkan perhatiannya pada pemilih kulit putih. Sementara kandidat partai Demokrat Hillary Clinton merangkul koalisi besar yang berhasil memenangkan Barack Obama pada pilpres tahun 2008 dan 2012.

Ahli strategi dari Partai Republik John Feehery mengatakan, “Itu adalah koalisi yang liberal, progresif dan dari beragam etnis. Sementara Partai Republik adalah kumpulan pemilih kulit putih dari berbagai kelompok konservatif.”

Kedua capres sama-sama tidak disukai oleh pemilih. Rata-rata jajak pendapat menunjukkan 55% warga tidak menyukai Clinton, dan 58% tidak menyukai Trump. Polarisasi ini diramalkan akan terus meruncing pasca pilpres.

Sejarawan Allan Lichtman dari American University yakin banyak Demokrat tidak akan bisa menerima kemenangan Trump.

“Donald Trump telah menghina begitu banyak warga AS, dan bahkan mengatakan akan memenjarakan lawannya apabila dia terpilih, dan banyak pendukung Clinton tidak akan menerima keabsahan Trump sebagai Presiden,” ujarnya.

Tetapi kemenangan Clinton bisa dengan mudah mengundang kecaman para pendukung Trump, kata Scott Faulkner, pengamat Republik.

“Dia tidak jujur, dan merupakan salah satu kandidat paling tidak tulus yang pernah memenangkan nominasi sebuah partai besar,” jelas Faulkner.

Dalam kondisi polarisasi ini, presiden yang baru menghadapi tugas berat mempersatukan kembali bangsa AS, kata sejarawan Lee Edwards dari Heritage Foundation.

“Presiden terpilih harus bekerja keras menjembatani kesenjangan ini dan menyatukan rakyat. Itu adalah keharusan karena salah satu dari mereka berdua akan menjadi presiden bagi seluruh rakyat AS,” tambahnya.

Rata-rata jajak pendapat nasional menunjukkan tingkat dukungan terhadap Hillary Clinton mencapai 47%, unggul tipis dibandingkan Donald Trump yang meraih dukungan sebesar 45%.

Pilpres AS akan digelar Selasa 8 November. [pw/vm/jm]