Presiden Joko Widodo enggan menanggapi tekanan internasional di antaranya Presiden Prancis Francois Hollande yang mendesak Pemerintah Indonesia membatalkan hukuman mati terhadap terpidana kasus narkoba.
Presiden Jokowi di lapangan udara Halim Perdanakusuma Jakarta Minggu (26/4), sebelum melakukan perjalanan ke Malaysia dalam rangka kunjungan kerja menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN, Presiden memastikan tidak akan menanggapi desakan pembatalan hukuman mati, diantaranya dari Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon.
Your browser doesn’t support HTML5
"Saya sudah berkali-kali menyampaikan. Saya tidak akan menjawab. Sudah cukup jawaban saya. Saya gak akan mengulang," ujarnya.
Presiden Jokowi juga menegaskan, yang berhak memutuskan soal pelaksanaan hukuman mati adalah kejaksaan karena sudah sesuai dengan proses hukum.
Jaksa Agung HM Prasetyo dalam beberapa kesempatan menegaskan ancaman maupun tekanan merupakan hal yang biasa terjadi dalam hal eksekusi mati di suatu negara. Prasetyo pun menegaskan pelaksanaan eksekusi mati tidak akan dibatalkan.
Prasetyo mengatakan, "Kita jalan terus. Jalan terus. Tidak ada yang menghambat. Itu wajar. Negara yang membela kepentingan warganya itu wajar. Tapi masing-masing punya kedaulatan hukum. Kita menghargai kedaulatan mereka, tentunya diharapkan menghargai kedaulatan hukum kita."
Presiden Prancis Francois Hollande dalam beberapa pemberitaan media internasional mengancam dengan menyatakan bahwa pelaksanaan hukuman mati akan mengganggu hubungan bilateral Perancis dengan Indonesia. Dia juga menyatakan Perancis akan mengumpulkan negara-negara yang warganya terancam hukuman mati di Indonesia dan menyatakan sikap bersama.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon secaraterang-terangan, juga menyatakan keberatannya atas rencana pelaksanaan hukuman mati terhadap terpidana kasus narkoba. Menurut pandangan Ban Ki-moon, hukuman mati berdasarkan ketentuan hukum internasional hanya dapat diberikan bagi pihak yang melakukan kejahatan serius seperti mencabut banyak nyawa orang sekaligus. Sementara, narkoba menurut penafsiran Ban, tidak termasuk kategori itu.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana kepada VOA meyakini pelaksanaan hukuman mati terhadap terpidana narkoba tidak akan mengganggu hubungan internasional Indonesia dengan negara manapun.
"Apa sampai meresikokan hubungan diplomatik dengan Indonesia? Dengan membela warganya yang melakukan kejahatan di Indonesia? Kalau menurut saya ini sesuatu hal yang amat tidak lazim. Dan sangat tidak menghormati kedaulatan di Indonesia. Kalau benar (mereka) akan memutuskan hubungan diplomatik, berarti negara-negara tersebut tidak mendukung Indonesia perang melawan narkoba," ujarnya.
Hikmahanto juga mengaku heran dengan penolakan pelaksanaan hukuman mati di Indonesia dari Sekjen PBB Ban Ki-moon. Pemerintah Indonesia tegas Hikmahanto, tidak perlu takut dengan tekanan dari Sekjen PBB dan negara-negara yang menolak pelaksanaan hukuman mati ini.
Ia menambahkan, "Mana suara sekjen PBB ketika 2 orang warganegara Indonesia dihukum mati di Arab Saudi? Mana suara PBB ketika China awal bulan ini menghukum mati warganegara Australia? Tidak terdengar oleh kita. Maka saya harus katakan kepada pemerintah saya, Lawan.. Jangan berdiam diri. Bahwa kita tidak boleh di bully oleh negara-negara ataupun oleh sekjen PBB."
Sementara itu penolakan terhadap pelaksanaan hukuman mati juga disuarakan oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat di Indonesia, di antaranya dari Komisi Orang Hilang untuk Tindak Kekerasan (KontraS). Staf Divisi Advokasi Pemulihan Hak Sipil dan Politik KontraS Alex Argo Hernowo kepada VOA mengatakan akan mengupayakan upaya hukum peninjauan kembali atas terpidana Rodrigo Gularte warganegara Brazil dan Mary Jane Fiesta Veloso waragnegara Filipina.
Alex mengatakan, "Hukuman mati seharusnya tidak dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Karena bagaimanapun proses peradilan hari ini di Indonesia masih terbuka lebar dengan begitu banyak kesalahan. Khusus untuk Rodrigo dan Mary Jane, kontraS akan mengajukan upaya Peninjauan kembali."
Pemerintah Indonesia siap melaksanakan eksekusi mati terpidana mati tahap dua. Sebelumnya enam terpidana sudah menjalani eksekusi hukuman mati pada 18 Januari 2015. 10 terpidana mati kasus narkoba yang telah ditolak grasinya dan siap dieksekusi adalah Andrew Chan dan Myuran Sukumaran alias Mark warga negara Australia. Serge Areski Atlaoui warganegara Perancis. Rodrigo Gularte warganegara Brazil. Mary Jane Fiesta Veloso waragnegara Filipina. Silvester Obiekwe Nwolise dan Okwudili Oyatanze warganegara Nigeria. Raheem Agbaje Salami warganegara Spanyol. Martin Anderson alias Belo warganegara Ghana, dan Zainal Abidin warganegara Indonesia.