Survei LSI: Pro ‘NKRI Syariah’ Naik Signifikan

Anggota kelompok Hizbut Tahrir Indonesia dalam unjuk rasa menuntut penerapan Syariah di Indonesia, Jakarta, 23 September 2010. (Foto: Reuters)

Penelitian yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia LSI menunjukkan jumlah warga yang pro atau setuju “NKRI Syariah” naik secara signifikan selama dua tahun terakhir menjadi lebih dari 13 persen. Beberapa pengamat menilai hal ini tidak perlu dikhawatirkan selama tetap diamati dengan seksama.

“NKRI Syariah” atau negara yang memasukkan unsur atau nilai-nilai agama Islam ke dalam tatanan pemerintahan adalah konsep baru yang mulai dipopulerkan dalam dua tahun terakhir ini.

Tetapi penelitian Lingkaran Survei Indonesia (LSI), yang dipimpin Denny JA, menunjukkan bahwa warga yang menyetujui konsep ini sudah ada sejak 2005. Hingga tahun ini, jumlahnya terus merangkak naik.

Pada 2005 jumlah warga yang pro-“NKRI Syariah” mencapai 4,6 persen dan melesat naik menjadi 7,3 persen pada 2010. Pada tahun ini, jumlah warga pro “NKRI Syariah” sudah hampir dua kali lipat, yaitu 13,2 persen.

Survei dilakukan antara 28 Juni hingga 5 Juli 2018 atas 1.200 responden. Dalam survei itu ditemukan seiring dengan meningkatnya keinginan menerapkan “NKRI Syariah,” jumlah mereka yang setuju dengan “NKRI Pancasila” turun cukup drastis, yaitu dari 85,2 persen pada 2005, menjadi 75,3 persen pada 2018 ini.

Ketua Indonesian Conference on Religion for Peace (ICRP), Prof. Dr. Musdah Mulia, mengatakan kepada VOA, meskipun bukan hal baru, temuan ini tetap mengkhawatirkan.

Menurut Musdah, hal fenomena itu sudah terlihat beberapa tahun pasca reformasi terutama kalangan kelompok-kelompok Islam, yang merasa mendapat perlakuan tidak nyaman selama Order Baru, mulai tampil.

Polisi Syariah berjaga di depan restoran, yang buka untuk melayani pelanggan non-Muslim, untuk menjaga agar konsumen Muslim tidak makan di restoran tersebut selama bulan Ramadan, di Banda Aceh, 1 Juli 2014.

“Awalnya banyak di antara kita yang menilai hal itu tidak masalah selama mereka mendukung kepentingan jangka pendek yang bersangkutan, padahal ini jelas masalah besar. Tetapi para politisi dan pejabat kita tidak menyadarinya,” ujar Musdah.

Musdah Mulia menjelaskan bagaimana paparan unsur-unsur toleransi itu dapat ditemukan dengan mudah di buku-buku pelajaran sekolah, pidato pejabat publik, hingga di khutbah-khutbah Jumat, yang bahkan berada di lingkungan pemerintah.

“Paham-paham intoleransi itu ditemukan di dalam buku-buku pelajaran yang diterbitkan negara. Jika kita kasih tahu, mereka paling bilang “wah itu lolos.” Tapi kok makin banyak saja?,” kata Musdah.

Baca Juga:Survei: 41 Masjid di Kantor Pemerintahan Terindikasi Radikal

“Juga bagaimana menjelaskan temuan bahwa khutbah-khutbah yang membakar itu justru ditemukan di masjid-masjid BUMN? Anda tentu mengetahui hasil penelitian P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren & Masyarakat.red) dan Rumah Kebangsaan bahwa 41 dari 100 masjid di kantor pemerintahan menyampaikan khutbah yang berisi ujaran kebencian dan intolerans,” kata Musdah lebih lanjut.

Al Chaidar : Tak Perlu Khawatir dengan NKRI Syariah

Namun pengamat antropolog politik yang juga kandidat doktor di FISIP Universitas Indonesia, Al Chaidar, menilai temuan LSI itu tidak perlu dikhawatirkan. Menurutnya yang diinginkan warga sebenarnya adalah tatanan kenegaraan yang lebih mengedepankan etika dan ajaran agama, yang sudah terkandung dalam beberapa aturan hukum.

“Saya kira tidak perlu khawatir karena yang diperjuangkan oleh mereka yang menginginkan NKRI Syariah itu adalah kembalinya Piagam Jakarta, yang sebenarnya tidak begitu realistis. Tapi sejauh ini mereka beranggapan hal itu yang paling mungkin diperjuangkan di Indonesia,” papar Al Chaidar.

Para peserta pawai menggelar bendera merah-putih raksasa dalam pawai mendukung persatuan Indonesia, di Jakarta, 4 Desember 2016.

“Jadi banyak aktivis Islam yang menilai bahwa memperjuangkan Islam dan khilafah di Indonesia adalah sesuatu yang hampir tidak mungkin. Yang paling mungkin adalah memperjuangkan NKRI Syariah karena oleh otorita berwenang, yang merupakan garda dan pengawal NKRI, konsep ini dianggap tidak bertentangan,” kata Chaidar.

Menurut Chaidar, tuntutan untuk memasukkan aturan hukum Islam dalam tatanan bernegara ini sebenarnya sudah dimasukkan ke dalam beberapa aturan hukum, seperti kompilasi hukum Islam atau KHI, yang sudah ada sejak jaman Orde Baru.

Lebih jauh Al Chaidar yang juga dikenal sebagai pengamat isu terorisme menilai pemerintah saat ini sudah cukup akomodatif mendengar keinginan menerapkan aturan hukum agama itu. Ia juga yakin pemerintah akan mampu mengatasi jika ada tuntutan-tuntutan baru.

“Saya kira dengan diberi peluang, mereka yang menuntut NKRI Syariah ini malah lebih kalem. Lihat saja bagaimana dengan Majelis Mujahidin Indonesia MMI yang tadinya sangat keras, radikal dan fundamentalis, kini mengalihkan perjuangan mereka dari keinginan membentuk negara Islam menjadi keinginan membentuk NKRI Syariah,” kata Al Chaidar.

Namun Al Chaidar dan Musdah Mulia sama-sama menggarisbawahi penyelesaian akar masalah yang memunculkan konsep NKRI Syariah ini yaitu kemiskinan dan kesenjangan ekonomi.

Hasil penelitian LSI di 34 provinsi ini memang menunjukkan bahwa kesenjangan ekonomi dan munculnya paham baru di luar Pancasila yang dinilai lebih menarik dan dinilai dapat menyelesaikan masalah kesenjangan ekonomi, menjadi alasan semakin meningkatkan jumlah warga yang pro-“NKRI Syariah” dibanding “NKRI Syariah.” [em/al]