Laporan: Produsen Obat AS Prioritaskan Keuntungan, Bukan Pasien

  • Associated Press

Kantor pusat perusahaan farmasi Gilead Sciences di kota Foster City, California (foto: dok).

Sebuah panel Senat AS menilai, produsen pil baru untuk penyakit Hepatitis C mengutamakan keuntungan perusahaan di atas pasien, dengan mematok harga $1.000 (hampir Rp 14 juta).

Produsen obat terobosan baru bagi perawatan Hepatitis C mengutamakan keuntungan perusahaan di atas pasien, dengan mematok $1.000 (hampir Rp 14 juta) untuk harga sebuah pil yang bisa menyembuhkan penyakit hati tersebut, menurut para peneliti Senat AS, Selasa (1/12).

Sebuah laporan bipartisan dari Komite Keuangan Senat AS menyimpulkan bahwa perusahaan farmasi "Gilead Sciences" yang berbasis di California berusaha memaksimalkan keuntungan perusahaan, walaupun hasil analisis internal menunjukkan bahwa dengan harga obat yang lebih rendah akan memungkinkan lebih banyak pasien yang bisa mendapatkan perawatan.

Meskipun laporan ini menyoroti hanya pada satu obat yang telah menjadi berita utama dalam beberapa tahun terakhir, para Senator yang memimpin penyelidikan mengatakan hasil temuan mereka adalah sebuah peringatan mengenai kemungkinan biaya perawatan yang mahal lainnya bagi penyakit kanker, diabetes, Alzheimer dan HIV.

Dalam sebuah pernyataan, perusahaan obat Gilead mengatakan tidak setuju dengan kesimpulan laporan itu.

Rp 1,2 Miliar untuk Biaya Perawatan

Pil terobosan bagi penyakit Hepatitis C produksi Gilead disebut "Sovaldi" dengan harga $1.000 (hampir Rp 14 juta) untuk setiap pil, atau akan menghabiskan $84.000 (hampir Rp 1,2 miliar) untuk seluruh pengobatan. Gilead kemudian memperkenalkan pil generasi berikutnya yang lebih mahal yang disebut "Harvoni", yang sangat efektif dan dan lebih mudah dikonsumsi oleh pasien. Dengan Harvoni, biaya seluruh pengobatan akan memakan biaya $ 94.500 (lebih dari Rp 1,3 miliar).

"Gilead menentukan harga (pil) Sovaldi dan Harvoni secara bertanggung jawab dan mempertimbangkan dengan serius," menurut pernyataan resmi perusahaan. Gilead menyatakan bahwa lebih dari 600.000 pasien di seluruh dunia telah diobati sejak diperkenalkannya Sovaldi dua tahun lalu.

Namun Senator Wyden dan Senator Chuck Grassley, mengatakan bahwa hasil investigasi mereka selama 18 bulan menemukan bahwa harga obat yang mahal membatasi secara signifikan kemampuan pasien mendapatkan obat itu dan memberikan beban biaya yang besar terhadap program layanan kesehatan pemerintah.

Para demonstran menentang tingginya harga obat yang diproduksi perusahaan farmasi Gilead dalam unjuk rasa di Atlanta, Georgia, AS (foto: dok).

Hepatitis Lebih Mematikan daripada AIDS

Hepatitis C adalah infeksi virus yang menjangkiti sekitar 3 juta orang di Amerika Serikat dan menyebabkan korban jiwa yang lebih besar daripada penyakit AIDS. Para pasien mengatakan bahwa penyakit ini terasa seperti flu parah yang tidak kunjung hilang. Walaupun penyakit ini menyerang secara pelan-pelan, pada akhirnya dapat menghancurkan hati, sehingga membutuhkan transplantasi untuk menyelamatkan hidup pasien. Virus ini menyebar terutama melalui kontak dengan darah orang yang terinfeksi.

Meskipun para ahli medis merekomendasikan obat Gilead sebagai pengobatan lini pertama untuk orang yang terkena Hepatitis C, laporan panel Senat AS itu menemukan bahwa biaya tinggi mengakibatkan hanya kurang dari 3 persen dari penerima manfaat layanan kesehatan AS (atau disebut "Medicaid") yang memenuhi syarat mendapatkan perawatan tersebut pada tahun 2014. Medicaid adalah program layanan kesehatan pemerintah federal bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah.

Sebuah jajak pendapat terbaru mendapati tingginya harga obat merupakan keprihatinan utama masyarakat AS dalam isu layanan kesehatan. Namun, industri farmasi berdalih bahwa tingginya harga obat baru mencerminkan mahalnya biaya penelitian dan pengembangan yang ditanggung perusahaan. [pp]